Review Love, Rosie (2014)
Menerima Takdir bukanlah Akhir
Beberapa
hari yang lalu, saya menonton film Love,
Rosie. Agak mirip, tapi beda, saya juga sudah nonton film Korea Your Name is Rose. Sama-sama ada unsur rose-nya, jalan ceritanya pun juga nggak
beda jauh.
Film
yang dibintangi oleh Lily Collins dan Sam Claffin ini ternyata lumayan juga
untuk saya nikmati. Dikisahkan, ada sepasang sahabat yang sudah berteman sejak
kecil—Rosie dan Alex. Keduanya, sama-sama punya impian dan keinginan untuk
tetap bersama. Ingin berkuliah, berkarir, dan mungkin juga menikahi satu sama
lain. Sayangnya, keinginan kadang tidak sejalan dengan takdir Tuhan.
Rosie
hamil muda dan ayahnya bukanlah Alex. Pupus sudah harapannya untuk menggapai
impian karena Rosie memilih untuk membesarkan anaknya. Tahun berganti tahun,
hingga sampailah Alex mengetahui semuanya dan bertekad untuk membuat Rosie
merasakan apa itu “masa muda.” Sayangnya,
hingar bingar kota serta gaya hidup kaum urban mengubah Alex. Dari situ, Rosie
sadar, Alex bukanlah sosok yang selama ini dikenalnya. Dan, mereka putus
persahabatan.
Bukan Soal Memilih
Sebenarnya,
konflik di film ini cukup sederhana. Bagaimana kita sebagai manusia dengan
segala akal sehat memilih satu dari sekian banyaknya pilihan hidup yang
dipilihkan Tuhan. Lalu, bagaimana pula kita menerima jika pilihan yang sudah
kita ambil tadi bukanlah yang terbaik—apakah haru menyerah dan kalau atau
justru bangkit.
Rosie
dihadapi oleh pilihan yang bagi banyak orang, apalagi kalau bicara kultur dan
tradisi orang luar, adalah simple. Ia
hamil dan aborsi bukanlah hal yang rumit. Namun, di sini, ia mengalah pada
takdir dan melepaskan impiannya. Yang terpenting adalah anaknya tetap hidup dan
bahagia.
Masalahnya
adalah bukan terletak di opsi membiarkan bayinya hidup atau mengugurkannya. Tapi,
lebih dari itu. Takdir Tuhan. Ya, di sini, Rosie sadar bahwa Tuhan ingin “menguatkan”
dirinya lewat kehamilan mudanya. Tuhan ingin melihat ia kuat, sabar, dan tidak
menyerah. Dan, Rosie berhasil.
Menemukan Happy Ending
Lihat
saja bagaimana akhir dari film ini. Kita sebagai penonton disuguhkan proses
Rosie menjadi manusia yang sebaik-baiknya manusia—menyayangi anaknya,
menghormati orangtuanya, dan tentu tetap mencintai Alex sampai kapanpun. Walaupun
ia tidak bisa bersamanya, hanya harapan kebahagiaan yang bisa ia sampaikan
untuk Alex.
Dari
sini, kita tahu, masalah apapun bentuknya, bukan akhir dari hidup kita. Lewat Love, Rosie, kita diajarkan untuk
menerima takdir Tuhan dengan bijak. Toh, ini bukanlah akhir dari segalanya. Siapa
tau ini adalah pembuka kebahagiaan kita. Rosie dan Alex berakhir bahagia
setelah semua masalah yang menimpa mereka.
Selamat menonton guys!
Selama kita menerima takdir yang Tuhan berikan, menjalaninya dengan ikhlas dan tanpa menyerah, suatu hari pasti konsep kebahagiaan tentu akan kita dapatkan meskipun dari suatu hal yang tidak kita sadari.
Comments
Post a Comment