Review Cerpen Pilihan Kompas 2017
Oktober
2019, saya baru menyelesaikan proses membaca Cerpen Pilihan Kompas 2017. Meskipun telat dua tahun, bagi saya
cerita-cerita yang disajikan tetaplah relevan. Tidak berbeda jauh dengan
kumpulan cerpen Kompas di tahun-tahun sebelumnya, tema banyak berputar di
politik, ekonomi, kesenjangan sosial, kemiskinan, krisis identitas, dan
masalah-masalah yang bikin pusing lainnya.
Satu
hal yang amat saya sayangnya adalah tidak adanya prolog. Bagi saya, dengan
adanya prolog dari orang yang berkecimpung di bidang selain literatur, akan
berdampak baik bagi pembacaan cerita. Salah satunya yaitu bertambahnya
pengetahuan baru. Apalagi, kumpulan cerpen ini adalah satu elemen yang diikat oleh
“pilihan juri” yang berujung pada kesepahaman pikiran. Dengan begitu, setelah
selesai membaca prolog akan keluar kalimat “Ah, jadi ternyata begitu.”
*Saya
berharap prolog dan epilog kembali dihadirkan kembali seperti di tahun 2013*
Nah,
di Cerpen Pilihan Kompas 2017 ada 21
cerita. Dikisahkan bahwa ke-21 cerita tadi ditulis oleh penulis generasi muda
dan tua. Junior dan senior. Masak dan matang. Ah, saya lupa memberi tahu bahwa
cerpen juaranya adalah Kasur Tanah
karangan Muna Masyari.
Kasur Tanah – Muna Masyari
Muna
Masyari hadir sebagai juara yang mewakili Madura. Kasur Tanah berkisah tentang kematian seseorang sekaligus penyatuan
dua orang yang tak pernah terduga. Siapa sangka jika seorang anak menikah
dengan cinta pertama ibunya. Tidak sampai di situ, fakta mengejutkan lainnya
terkuak bahwa si anak adalah hasil hubungan gelap bersama suaminya. Sebenarnya,
konflik yang di Kasur Tanah cukup
kompleks tapi matang dan subtema di atas adalah favorit saya.
Rumah Batu Kakek Songkok – Lina PW
Bagaimana
jika modernitas dan kemajuan malah membawamu pada kehilangan dan kekosongan?
Begitulah yang ingin disampaikan lewat Rumah
Batu Kakek Songkok. Lina PW seakan ingin memperkenalkan kepada kita
mengenai konsep modernitas yang menghilangkan jati diri. Modernitas mengubah
rumah Kakek Songkok yang awalnya berupa rumah panggung yang lapuk menjadi rumah
batu yang mewah. Modernitas ini juga menghilangkan Sabang, si anak dari
genggamannya.
Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya – Ahmad
Tohari
Cerita
dari Ahmad Tohari memang selalu berkesan sederhana tapi kaya, sama seperti
cerpen Paman Klungsu dan Kuasa Pluitnya
ini. Cerpen ini menceritakan tentang orang yang dianggap kecil justru
berpengaruh besar dalam perputaran hidup manusia. Seorang tukang parkir pasar
seringkali diremehkan, tapi sebenarnya ia berkuasa di jalanan pasar bersama
pluit adalannya.
Bukit Cahaya – Triyanto Triwikromo
Membaca
Bukit Cahaya membuat saya mengingat
dongeng masa kecil. Dongeng yang penuh keanehan tapi dianggap normal, banyak
makhluk ajaib yang disukai, atau elemen cerita unik lainnya. Bukit Cahaya seperti ingin mengembalikan
ingatan masa kecil kita lewat petualangan seorang anak mencari cahaya—tentunya
selama berpetualang itu ia bertemu kupu-kupu raksasa, hujan meteor, hingga
penyihir yang menyamar.
Saat Maut Batal Menjemput – Radhar Panca Dahana
Cerpen
Saat Maut Batal Menjemput mengisahkan
dengan anggun bagaimana proses menuju kematian. Mulanya kita merasakan sensasi
kosong, hampa, dan kopong. Organ-organ tubuh juga akan mati rasa. Lalu, kita
mengalami mimpi—aneh tapi bikin “enak”. Sayangnya, proses ini hanyalah mimpi.
Ujung-ujungnya kita dibangunkan oleh kenyataan hidup.
Sumur Gumuling – Indra Tranggono
Lewat
Sumur Gumuling, kita bisa mengetahui nasib sekaligus meminta keselamatan. Mungkin
itulah yang membuat Abinaya tertarik. Bukan nasib baik dan umur panjang yang
didapat, justru ia “diceramahi” oleh orang yang muncul dari sumur. Orang ini
tidak lain tidak bukan sebenarnya hanyalah imajinasi ketakutan Abinaya sendiri.
Gugatan – Supartika
Sudarma
adalah manusia keras kepala yang selama hidupnya banyak melakukan pahala yang
diikuti oleh dosa. Berlatar di neraka dan berupa percakapan Sudarma dan
malaikat penjaga neraka, cerita ini sangat satir sekaligus humor. Di dalam Gugatan, Supartika seperti kembali ingin
mengingatkan kita sebagai manusia yang berTuhan dan beragama, bahwa segala hal
pasti ada imbalannya di hari akhir nanti.
Surat Tapol kepada TKW, Cucunya – Martin
Aleida
Martin
Aleida kembali membawa kita pada suasana di Pulau Buru yang dijadikan tempat
pembuangan manusia. Surat Tapol kepada
TKW, Cucunya bercerita tentang perjalanan seorang tahanan politik (tapol) selama
berada di Pulau Buru itu—bagaimana ia bertahan dan bagaimana ia juga turut
andil dalam kesuksesan karya Pramudaya Ananta Toer. Cerita ini kemudian
menyadarkan saya bahwa menjadi hidup masa itu adalah perjuangan hidup yang
sebenar-benarnya.
Perihal Tanda-tanda – Wisnu Sumarwan
Bisakah
kapan kematian manusia diketahui sehingga kita bisa mempersiapkan diri sebaik
mungkin mencari pahala dan menghindari dosa? Sepertinya, hanya di Perihal Tanda-tanda yang bisa
menjawabnya. Tokoh Nenek bisa mengetahui kapan seseorang akan mati lewat
racauan anehnya. Sayangnya, ia tidak tahu siapa orangnya. Wisnu Sumarwan
sepertinya ingin membuat kita sebagai manusia untuk lebih mempersiapkan “berkas-berkas”
menuju kematian sehingga kita tidak perlu takut mati.
Sekuntum Melati Ibu – Miranda Seftiana
Saya
menikmati Sekuntum Melati Ibu rasa-rasanya
sama seperti saya mendengarkan curahan hati teman. Cerita dijabarkan dengan
banyak deskripsi latar suasana yang sangat lembut, pelan, dan anggun. Terlebih
lagi, banyak sekali gambaran bunga-bungaan. Miranda Seftiana mengajak saya
untuk lebih jauh mengenal sosok ibu yang setiap saatnya merindukan suaminya yang
sudah meninggal dan harus dirahasiakan sampai anaknya menikah.
Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu – Sori Siregar
Pengungkapan
fakta sejarah yang diputarbalikkan di Akhir
Perjalanan Gozo Yoshimasu adalah tema yang menarik. Gozo Yoshimaru
diberitakan gugur oleh sekutu. Padahal, ia gugur di tangan kelompok pemuda.
Juru kunci yang tak lain adalah ketua kelompok pemuda ini berada dilema ketika
salah satu anggota keluarga Gozo ingin mencari tahu kebenaran. Haruskah
menceritakan kejadian yang sebenarnya demi kebajikan atau bungkam saja demi
nama baik negeri?
Lelucon Para Koruptor – Agus Noor
Setiap
cerita yang disajikan Agus Noor selalu saja membuat saya berdecak kagum. Selain
karena ceritanya tidak biasa, temanya juga satir tapi mantap. Lelucon Para Koruptor menceritakan
kehidupan koruptor di penjara yang setiap Rabu malamnya harus “melawak”. Si
tokoh, yang setiap melucu tidak pernah ada yang terhibur, merasa heran. Ternyata,
hal ini karena ia dianggap pecundang oleh yang lainnya karena melindungi
atasannya demi nama “pahlawan”.
Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu? –
Faisal Oddang
Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu? menceritakan tentang pemberontakan antara tentara Jawa dan
kelompok masyarakat tertentu—tentunya dengan nuansa Sulawesi. Sebenarnya,
pemberontakan tadi hanya didasari oleh dendam dari cinta yang tak terbalas. Yang
unik dari cerpen ini adalah mengandalkan seorang anak 8 tahun sebagai kunci
dari segala permasalahan. Dengan kepolosan inilah, cerita ini memiliki karakter
tersendiri.
Pena – Rika
Adakah
nama yang sangat buruk sehingga bisa mendatangkan kesialan dari lahir hingga
dewasa? Apakah gunanya nama jika pada akhirnya hanya membuat takut saja?
Sepertinya, keresahan itu yang ingin diangkat oleh Rika di Pena. Lahir di meja judi, saat SD sudah diperkosa, menjadi lesbi, dan
ketika dewasa pun menikah dengan orang yang memperkosanya menjadi plot yang cukup
menyedihkan.
Tarom – Budi Darma
Mengapa
ya saya selalu merasa cerita apapun yang ditulis Budi Darma sangatlah cocok
kalau dikaji menggunakan psikologi? Bukan hanya plotnya yang unik, tokoh yang
direka Budi Darma pun memiliki kekuatan magis. Lewat Tarom, Gertrude digambarkan sebagai sosok misterius yang hanya bisa
“digali” oleh Tarom sendiri. Sepertinya, tingkat kemisteriusan Gertrude sangat
dalam karena ternyata ia adalah keturunan Hitler yang berkhianat.
Nio – Putu Wijaya
Hidup
sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan, meskipun sekeras apapun kita berusaha.
Nio juga bercerita tidak jauh berbeda—kehidupan
orang keturunan Cina yang hanya berjualan tahu dan dianggap tidak beruntung. Ketidakberuntungan
ini sepertinya turun-menurun. Demi hidup layak, tokoh dipaksa bekerja keras dan
kesukesan pun diraih. Sayangnya, kerusuhan terjadi dan yup! tokoh diperkosa. Pad akhir cerita, anak hasil pemerkosaan itu
pun juga menderita.
Penagih Hutang Bersepeda Kumbang – Farizal
Sikumbang
Meskipun
ada kata kumbang, cerita bukan mengisahkan tentang fauna yang satu ini. Secara
garis besar, Farizal Sikumbang ingin membuat skenario akhir dari kisah cinta
yang tidak kesampaian. Ida dan sosok penagih utang saling jatuh hati.
Sayangnya, tidak direstui oleh orangtua Ida karena asal-usul penagih utang yang
tidak jelas. Tentang skenario akhir, menurut saya, Ida jadi gila.
Lelaki Garam – Made Adnyana Ole
Cerita
ini mengisahkan tentang dua orang kesepian yang menemukan termpat berlabuh yang
salah. Lelaki garam dan perempuan asam—keduanya adalah sedarah sekaligus
sehati. Lelaki garam mengingatkan perempuan asam pada ayahnya yang beramoma
laut, sedangkan perempuan asam mengingatkan lelaki garam pada ayahnya juga yang
beraroma buah asam. Mereka bahagia tapi tidak tahu bahwa ayah mereka sama. Akankah
mereka akan bersatu, melepas fakta bahwa mereka adalah satu?
Mbah Dlimo – A Muttaqin
Terkadang,
kuasa Tuhan memang gaib dan tidak bisa begitu saja dipercayai orang. Seperti halnya
pohon delima milik Mbah Dlimo yang diyakini adalah hal mistis. Bagaimana tidak
kalau setiap harinya pohon itu selalu berbuah lebat dan manis. Hal ini semakin
diyakini ketika Takin, si tokoh, melihat Mbah Dlimo sedang solat di buah delima.
Apakah Mbah Dlimo yang mengecil atau dunia Takin yang ajaib, hal ini bisa
ditafsirkan berbeda.
Ida Waluh di Lereng Gunung Agung – Gde
Aryantha Soethama
Pada
awal cerita, saya pikir sosok Ida Waluh adalah lelaki renta, tapi saya sadar ia
adalah patung yang diagungkan warga lereng Gunung Agung. Permata yang ada di
Ida Waluh diyakini bisa menjadikan seseorang sukses. Makanya, kepala desa
tersebut mencurinya. Lewat Ida Waluh di
Lereng Gunung Agung, saya tahu bahwa kekuasaan bisa menjadikan manusia
“buta” dan tidak bermartabat.
Rumah-rumah Nayla – Djaenar Maesa Ayu
Buat
saya, Djaenar Maesa Ayu, kenangan, dan masa kecil tidak bisa dipisahkan. Di setiap
cerita yang dibangunnya, selalu terselip kenangan masa kecil yang bahagia, tawa
anak perempuan yang nyaring—dan saya selalu menikmatinya. Seperti yang ingin
disampaikan lewat Rumah-rumah Nayla.
Cerpen ini membangun konstruksi hidup Nayla dewasa yang kosong, lalu ia
membayangkan masa kecilnya yang indah. Padahal, hidup Nayla kecil juga tidak
kalah kosong. Lalu, apa itu kosong?
Seperti
review saya yang sebelum-sebelumnya, pasti
ada satu cerpen yang memenangkan hati saya. Di Cerpen Pilihan Kompas 2017, saya sangat menyukai Lelaki Garam. Bukan hanya berkisah
tentang pencarian tempat berlabuh dari dua orang yang kesepian, tapi ada fakta
yang tidak akan pernah mereka ketahui. Belum lagi, bagaimana Made Adnyana Ole lihai mengolah
deskripsi—karena itulah saya teringat masa kecil saya bersama ayah yang setiap
pulang kerjanya berkeringat asap kendaraan Jakarta.
Comments
Post a Comment