Mengapa Mereka Bertanya Kepada Saya

-saya juga tidak tahu-


Menghabiskan suatu malam, saya terpikirkan sesuatu. Bahwa, saya pernah patah hati hebat sekali waktu itu. Mendengarkan lagu, terbawa emosi. Mengerjakan paper, saya melamun. Menonton film, malah film yang menyaksikan kesedihan saya. Begitulah. Hebat betul bukan si oknum bernama patah hati ini?

Kemudian, saya berkeinginan untuk menulis ini. Seharusnya, saya diharuskan mengerjakan tugas kuliah saya. Sayangnya, si patah hati malah membawa kabur kewarasan saya jauh-jauh. Tanpa kewarasan, mana bisa tugas saya diselesaikan dengan baik. Lagi-lagi, saya kalah padahal sudah bertekad. Dan, tugas kuliah terbengkalai.

Saya tidak pernah percaya bahwa manusia bisa dikecewakan oleh manusia lain. Namun, hal itu terjadi pada saya—yang menaruh harap terlalu dalam. Sudah sejak lama saya dipatahkan, tetapi saya selalu bangkit. Kali ini, bangkit hanya ilusi. Rasa-rasanya seperti sudah tidak ada sedikit pun hal yang membuat saya bangkit.

Sekarang, manusia-yang-pernah-sekali-waktu-saya-harapkan-terlalu-dalam itu sudah menemukan penantiannya. Kata teman-teman, sudah seharusnya saya membencinya. Jelas-jelas ia tidak pernah sekali pun menghargai perasaan saya. Kalau dipikir dengan akal sehat, memang harusnya begitu.

Namun, saya malah sama sekali tidak membencinya. Justru, saya turut bahagia atasnya. Bukankah selama ini saya mendoakan kebahagiaan yang ingin didapatkannya? Dengan begitu, bukankah saya telah menjadi manusia yang baik dengan berbahagia atas kebahagiaan manusia-yang-pernah-sekali-waktu-saya-harapkan-terlalu-dalam?

Lalu, bagaimana dengan perasaan saya? Saya juga sempat berpikir sejenak. Apa kabar dengan perasaan yang saya bangun dengan lika-liku selama hampir empat tahun ini? Kemudian, setelah bertarung dengan akal sehat yang paling murni, saya memilih untuk mundur dengan cara elegan. Ia telah memilih orang yang bukan saya. Justru, ia yang kalah oleh perasaan saya ini.

Apa pun itu saya hanya berharap semoga kebahagiaan manusia-yang-pernah-sekali-waktu-saya-harapkan-terlalu-dalam adalah yang terbaik baginya. Tidak akan ada lagi saya yang berharap, saya yang mengagumi, saya yang menulis puisi untuknya, dan saya yang sempat bersedih.

Ah, saya jadi ingat. Salah satu teman saya bertanya untuk apa saya masih membicarakannya, memikirkannya. Tentu, hal itu saya lakukan dengan kewarasan saya yang paling tinggi. Saya hanya ingin memastikan bahwa dengan memasukkannya ke dalam topik keseharian saya, sudah tidak ada lagi degap-degup yang dahulu selalu muncul. Dengan begitu, rasa saya akan perlahan terkubur oleh kerelaan saya atas kebahagiaan yang ia cari selama ini bersama orang lain.



Tulisan ini saya tulis ketika beberapa hari selepas manusia-yang-pernah-sekali-waktu-saya-harapkan-terlalu-dalam mendeklarasikan kebahagiaannya tanpa saya. Di setiap media sosial miliknya, ia tulisi kalimat re-happy. Ah, apakah ia tahu, kebahagiaan sebenarnya bukan untuk diulangi, tetapi diciptakan. Daripada mengulangi kebahagiaan yang serupa, mengapa tidak mencoba untuk membuat kebahagiaan yang lebih baru dan tentunya berkesan?

Comments

Popular Posts