Review Cerpen Kompas 2001

Mengeruk Sisa-sisa Mei '98



Menjelajahi kumpulan cerpen tahun 2001, rasa-rasanya seperti dilempar ke suasana Mei 1998. Kondisi mencekam, mengganas, menggila. Meskipun tidak besar, tetapi masih tetap terasa. Dengan kondisi dan nuansa yang seperti itu, kita diajak untuk menelusuri lebih lanjut bagaimanakah manusia mampu tegap berdiri tanpa goyah selagi kodrat kekuasaan bermain tangan. Begitulah kiranya yang ingin disampaikan sebagian besar cerita di dalam buku “Cerpen Pilihan Kompas 2001”.

Padahal, sebelumnya, aku telah membaca yang tahun 2013, 2014, 2015, dan 2016. Kemudian, aku sengaja “mencekoki” pikiran dengan cerpen tahun 2001. Yang aku rasakan adalah 1) topiknya yang ngga main-main, diramu matang, dan masih ada berkaitan dengan tragedi Mei 1998; 2) banyak pengarang baru yang belum pernah aku baca karyanya, huhu; dan 3) gaya bahasa, man, so much high me up.

Lewat cerpen utamanya yang berjudul Mata yang Indah karangan Budi Darma, kita diminta untuk mengutamakan kebenaran. Bahkan, di saat kebenaran itu salah sekali pun. Sampul depan buku ini mengilustrasikan inti cerita Mata yang Indah dengan apik dan menyentuh.

Kumpulan buku ini mengandung cerpen terbitan Kompas selama tahun 2000. Ada sebanyak 16 cerita. Dengan di-prolog-kan oleh Hasif Amini—seorang seniman—, beliau menyimbolkan cerita sebagai sebuah perjalanan imajinasi manusia yang tak lekang oleh waktu, sama seperti kisah 1001 malam. Kemudian, hadirlah Alois A. Nugroho, profesor bidang etika dan filosofi, sebagai seseorang yang meng-epilog-kan kumpulan ini. Baginya, ketika manusia mencoba menyiratkan pikirannya lewat cerita, di situlah kehidupan dan pengalaman dimulai.

Mata yang Indah – Budi Darma
Menjadi yang utama, kali ini Budi Darma tampil apik dalam mengolah konflik. Cerita berputar pada si empunya mata indah—yang diturunkan dari ibunya—beserta beban dan tanggung jawabnya. Karena mata indah tersebut, banyak yang iri padanya. Alhasil, bagaimana akhir cerita, adalah penyelesaian yang tidak berlebihan sebab mata itu “dicongkel” bidadari dari seseorang.

Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari – Jujur Prananto
Mengenal Jujur Prananto, sama seperti menyelami sisi lain masyarakat kota yang jarang diekspos. Lewat cerpen bertemakan hari raya, beliau ingin menampilkan bahwa masih banyak manusia lugu yang tergagap dengan megahnya “kota”. Dikisahkan satu bapak tua yang mengunjungi anaknya di Jakarta. Namun, sesampainya, anaknya telah berpindah rumah tanpa memberi kabar. Parahnya, bapak tua ini malah ditipu.

Umairah – Yanusa Nugroho
Ini adalah tentang seorang wanita bernama Umairah yang memiliki anak perempuan, Umi namanya. Sayangnya, ia lahir tanpa kejelasan ayah. Hidup keduanya terluntang-lantung, tetapi yang jelas Umairah menyayangi Umi. Umairah tidak mau anaknya menjadi seperti dirinya—PSK. Berbagai cara ia lakukan sampai-sampai Umairah bunuh diri meninggalkan Umi seorang diri.

Elegi untuk Anwar Saeedy – Martin Aleida
Martin Aleida, yang menulis Tanah Air (cerpen ini menjadi cerpen utama di tahun 2016), kembali menampakkan “keheroikannya”. Anwar Saeedy, mantan pejuang asal Aceh, menuntut balas jasa negara atas tindakannya. Hidup tenang, nyaman, dan sejahtera. Sayangnya, hal itu tidak ia dapatkan. Di usia tuanya, ia malah membanting tulang tanpa orang lain pedulikan hingga ajal menjemput. Sepertinya, ironi semacam ini masih ada di zaman sekarang.

Bunga Kopi – Ratna Indraswari Ibrahim
Nuansa yang mencekam dan was-was serasa sekali ketika Bunga Kopi aku baca. Konsep “membenci seseorang jika tak searah dan diinjak-injak sampai harus melakukan kekerasan” sepertinya melekat sekali di cerpen ini. Sesekali juga, dibumbui kisah cinta antara pegawai kebun kopi dan atasannya. Pada akhirnya, kekuasaan tetaplah kekuasaan di atas segalanya sekali pun cinta.

Krueng Semantoh – Sori Siregar
Menjadi tentara yang dihormati dan ditakuti, bagi Pergulatan, bukanlah sebuah kebanggaan. Karenanya, ia kembali ke desanya di mana ada Sahat—sang sahabat. Sahat tidak tahu bahwa sebenarnya Kreung Semantoh, desa terpencil tempatnya mengabdi sebagai guru, menyimpan rahasia besar Pergulatan dan kepulangannya.

Ikan di dalam Batu – K. Usman
Cerpen ini mengisahkan tentang kebenaran yang masih saja kalah dengan kekuasaan. Kamil, pegawai perusahaan, membocorkan kebusukan para atasannya. Atas dasar kesetiaan dan kenegaraan, Kamil malah dijebloskan. Mengenai istilah “ikan di dalam batu” yang kerapkali hadir di dalam mimpinya, sebenarnya adalah pengibaratan dirinya yang masuk “perangkap” kekuasaan. Sungguh kasihan Kamil.

Déjà Vu: Kathmandu – Veven Sp Wardhana
Déjà Vu: Kathmandu digadang-gadang menjadi saingan dari Mata yang Indah miliki Budi Darma. Yang menonjol adalah bagian plot yang dimainkan beserta tokoh yang mengaduk-aduk perasaanku. Dikisahkan dua orang yang merasa pernah “bertemu” sebelumnya, Xu Xian dan Xu Qing, kembali bersitatap di Kathmandu. Alur berjalan flashback ketika terkuak bahwa kembaran Xu Qing diperkosa di negeri Xu Xian berasal, Indonesia. Bagus sekali ceritanya!

Upit – Gus tf Sakai
Ini adalah perihal permainan kekuasaan dengan korban seorang anak SMA yang terpaksa menikah. Suaminya, si Abang, dikisahkan sebagai gay yang mengacuhkan Upit. Di satu sisi, hadirlah tokoh Hari, tetangganya, yang menghilangkan kesepian diri Upit. Ketika saat dirinya merasa memiliki teman, orang-orang justru mengusir Hari. Bisa dibayangkan bagaimana permainan psikis Upit yang Gus tf Sakai ini lakukan terhadap aku huhu. Sedih sekali.

Rahim – Cok Sawitri
Rupanya, pembasmian terhadap gerakan “penolakan generasi baru” menjadi salah satu topik aneh sekaligus segar di dalam kumpulan cerpen ini. Melalui Rahim, kita diajak untuk menyelami bagaimana kejiwaan seorang perempuan yang rahimnya diangkat karena tumor. Belum kelar kesedihannya, ia malah dituduh sebagai aktivis penolakan kelahiran manusia baru. Terlepas dari benar atau tidaknya, secara tidak langsung, cerpen ini mengangkat tema mengenai kodrat perempuan yang tidaklah penting.

Inyik Lunak Si Tukang Canang – A.A. Navis
Ada banyak “kekosongan” yang harus diisi dengan cara membacanya lebih dari sekali. Bertemakan masa perjuangan kemerdekaan, Navis mampu menghadirkan cerita dengan psikis yang dominan. Cerpen ini hanya berkisah tentang Otang dan masa lalu. “Inyik Lunak si tukang canang” adalah sebutan bagi seseorang yang mengumumkan berita buruk. Maka dari itu, Otang sangat membencinya, terlebih lagi ia akan mengingat istri dan pengkhianatan. Ke Jakartalah ia berlabuh. Sayangnya, “Inyik Lunak si tukang canang” masih terus mengikutinya sejauh apa pun ia pergi.

Ziarah Arwah-Arwah Bayi – Indra Tranggono
Hal semacam memiliki anak di luar nikah kiranya masih menjadi tabu. Namun, berbeda dengan cerita kali ini. Indra Tranggono mampu membawa ihwal tadi dari perspektif seorang PSK. Perempuan PSK ini selain harus memenuhi nafsu banyak lelaki, juga harus menanggung kerinduan terhadap benih-benih anak yang wajib ia gugurkan. Maka dari itu, ia “mengunjungi” mereka. Ah, betapa memilukan nasibnya!

Tabir Kelam – Herlino Soleman
Bagaimana seandainya kita menjadi kunci utama di balik kematian seseorang yang amat dekat dengan kita? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Mengatakan yang sebenarnya atau diam saja selayak tidak terjadi apa-apa? Seorang geisha, Hirada, ditemukan bunuh diri. Media memberitakan hal yang sebenarnya bukanlah fakta. Karena, faktanya hanya Nakamura sajalah yang tahu seluk-beluk Hirada dan kematiannya itu.

Burung Senja – Wilson Nadeak
Mengusung tema hari tua, cerita berputar di kehidupan seorang pria lanjut usia. Meskipun hidup bersama anaknya di luar negeri, ia justru merasa tidak nyaman. Sekeras apa pun ia berusaha nyaman, ke Indonesialah hatinya akan tenteram. Makanya, ia memutuskan pulang dan bertemu kehangatan rumahnya walaupun harus jauh dari anaknya.

Seperti Koin Seratus – Harris Effendi Thahar
Apa yang hendak disampaikan lewat cerpen ini kiranya sangat sederhana. Kebersamaan. Kekeluargaan. Berawal dari wasiat sang ayah yang meminta anak-anaknya berkumpul untuk membicarakan perihal “hartanya” yang berupa tumpukan koin seratus. Tentu saja, koin ini sudah tak laku. Namun, di balik itu, niat sang ayah hanyalah ingin mereka kembali bersatu dan berkumpul.

Lebaran di Karet... Karet... – Umar Kayam
Masih bertemakan hari raya, kali ini Umar Kayam mengolah konflik batin seorang pria berusia lanjut yang kesepian. Darinya, diketahui bahwa lebaran hanya dirayakan biasa saja, penuh kesendirian dan kesunyian. Saat seperti itu pula, bukannya dikunjungi sanak saudaranya, ia malah berkunjung ke makam istrinya di Karet. Begitulah, gambaran umum bahwa makin ke sini terkadang kita melupakan orang tua kita di masa tuanya.

---

Nah, nyatanya, memang sisa-sisa “kejadian Mei 1998” masih terasa di sebagian besar cerita di atas. Kekuasaan atasan, kekerasan terhadap perempuan, atau pemaksaan kehendak sebagai contohnya. Dan, dari 16 cerpen di atas, secara pribadi, jujur aku sangat menyukai Déjà Vu: Kathmandu. Selain keunggulan dialog tokoh yang dipadukan, tema yang dipilih juga tidak biasa. Biasanya, kebanyakan cerita hanya menyoroti pada keberadaan konflik itu sendiri, tanpa melirik bagaimana dampak panjang khususnya psikis yang bersangkutan. Yang ini, berbeda. Berkelas pokoknya!

Jangan lupa untuk menikmati sendiri Cerpen Pilihan Kompas 2001 ini, ya!

Comments

Popular Posts