Review Cerita-cerita Telapak Tangan

Menyederhanakan Kerumitan Hidup


Ini adalah kedua kalinya aku membaca keabsurdan Yasunari Kawabata. Pertama kali aku mengenal Kawabata adalah karena “Seribu Burung Bangau”. Ah, ya mengapa aku bisa menikmati keabsurdannya? Perihal itu aku pun belum paham benar. padahal, terkadang saking absurdnya, cerita terkesan lambat dan menimbulkan bosan.

Kawabata terkenal sebagai sastrawan dengan karakter khas. Ia lihai dalam mempermainkan pembaca lewat alurnya yang menggemaskan—lama dan terkadang membosankan. Namun, karena membosankannya itulah pembaca semakin penasaran dengan akhir cerita yang akan mereka temui. Aku pun begitu.

Cerita-cerita Telapak Tangan karangan Yasunari Kawabata atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Palm of the Hand Stories konon katanya memang sangat singkat sampai-sampai bisa ditulis di telapak tangan. Tentu saja dalam bahasa Jepang hehe. Di dalamnya, terdapat 70 cerpen yang bertemakan seputar manusia, hidup, kesederhanaan, dan cinta. Semuanya, berpulang pada penafsiran bahwa prinsip hidup itu sederhana saja. Ya, sesederhana itu.

Aku akui, Kawabata kali ini lebih lihai dalam mengolah inti cerita daripada novel Seribu Burung Bangau-nya. Mungkin tidak terlepas dari konsep cerpen yang “singkat” dan “tepat”. Tema manusia yang dipenuhi pergulatan akan hidupnya yang kompleks menjadi tema yang mendominasi. Tema-tema sekunder lainnya juga patut diberi perhatian lebih. Misalnya, bagaimana cinta pada akhirnya mampu menuntun manusia pada jalan kesederhanaan. Atau bagaimana pula manusia memang harus hidup sederhana untuk mencapai taraf kebahagiaan paling agung. Kira-kira begitulah yang ingin disampaikan Kawabata dalam ceritanya.

Dalam salah satu cerpen favoritku, Kenari, Kawabata mengingatkan kepada kita bahwasanya haruslah kita kembali kepada takdir Tuhan. Dua orang yang sudah memiliki pasangan, mencintai satu sama lain. Namun, pada akhirnya, mereka tidak bisa bersatu. Burung “kenari” diibaratkan sebagai simbol cinta mereka yang tidak luput dari kematian.

“Kelak mereka akan mati. Dan, ketika tiba saat kenangan antara kita mati, biarkan saja itu terjadi.” (hlm. 35-36).

Selain itu, dalam Stasiun Musim Penghujan, dikisahkan tentang kesetiaan seorang istri yang menunggu suaminya pulang kerja di stasiun kereta. Dari sini, Kawabata seakan ingin memproklamirkan bahwa manusia hendaknya selalu berjalan ke arah ke depan.

“Ketimbang membenci masa lalu, seharusnya kau berterima kasih padaku. Masa lalu itu seperti air yang mengalir di bawah jembatan. Tidak berarti apapun! Ia adalah mimpi buruk yang sudah sepenuhnya kau lupakan karena kamu sekarang bahagia. (hlm. 164).

Masih ada 68 cerpen menggemaskan Kawabata lainnya yang perlu kalian selami. Hehehe.

Kawabata dan Manusia Modern

Pada akhirnya, “Cerita-cerita Telapak Tangan” adalah penafsiran Kawabata terhadap hidup manusia. Hidup manusia yang seharusnya bisa menjadi sederhana, terkadang diperumit oleh mereka. Karena kerumitan itulah, manusia melupakan sejenak apa artinya hidup ini kalau bukan untuk dinikmati. Mungkin pandangan itu yang meresahkan Kawabata. Terlebih lagi, zaman yang semakin maju membuat manusia modern makin meninggalkan hakikat hidup.

Seperti kata Bang Bara dalam kata pengantarnya di novel ini, “... maka membaca Cerita-cerita Telapak Tangan Kawabata seperti melempar kerikil-kerikil berwujud narasi ... dan membawa saya menuju perenungan yang jauh tentang nasib buruk manusia.”

Selamat membaca, kalian! Share thoughts with me on my post about this novel by Instagram @anisasreads.

Comments

Popular Posts