Menuju Rumah

Permulaan


Kalau kamu pernah berkunjung ke rumah yang aku bangun, pasti akan kamu temukan segenap ragamu. Pada tiap sudutnya, aku sanggah dengan ukiran namamu, embusan napasmu, dan benih-benih senyummu. Sekarang, rumah itu sudah berupa puing. Reremahan rumahku telah menjelma rumah baru bagi rayap-rayap dan rerumputan.

Aku masih teringat bagaimana dahulu, rumah itu kubangun. Dengan penuh kepercayaan, rumah itu akan menjadi surga bagi dewa, mayapada bagi surya. Perlahan-lahan kujejalkan semua tentangmu ke dalamnya. Yang paling banyak bagiannya adalah ruang memori—dengan segala ingatanku ihwal kamu. Di situ aku taruh rupa-rupa potretmu yang kuambil diam-diam dan miniatur perjalanan kasihku kepadamu.

Selama tiga tahun terakhir, hanya itu yang aku lakukan. Ketika pertama kali aku mengasihimu, kamu telah lepas dari perempuan yang setahun lebih tua darimu. Saat itu kamu sangat bergemilang. Kemudian, datanglah ia—perempuan dengan senyum paling lembut. Seakan mengejar bus sekolah, begitulah kamu, perlahan mendekatkan diri padanya, memberi segala jenis perhatian padanya. Hingga akhirnya, beberapa bulan lamanya, kamu mengikat diri dengannya.

Tidak. Aku tidak akan bercerita bagaimana aku waktu itu. Rapuh, ingin menyerah saja rasanya, ingin bergegas mengambil kereta ke arah antah-berantah. Sayangnya, itu tidak terjadi. Si perempuan dengan senyum lembut itu melepasmu begitu saja. Katanya, ia ingin menata hidupnya kembali tanpa kamu. Kamu terhempas, terlempar, terbuang. Sama sepertiku.

Dengan dalih ingin menjemput kereta impian, kamu kembali bangkit. Tidak mau kalah, aku juga melakukan hal serupa—bangkit, mengurut mimpi, dan menaruh kasih padamu—tentunya. Aku selalu percaya perihal kamu yang sedang bersama kereta impianmu. Yang, suatu hari kelak, kamu perkenananku menaikinya.

Sampai saat itu aku masih terus membangun rumah yang sudah hampir rampung. Namun, satu hari kamu tidak berkeinginan untuk berkunjung. Semuanya musnah. Tiang penyangga dengan embusan napasmu pun sudah dingin. Sudut-sudutnya sudah dipenuhi rumah laba-laba. Ukiran-ukiran senyummu juga menghilang seketika. Kosong. Hampa.

Aku terus berupaya supaya rumah itu tetap berdiri, penuh kejayaan dan kehangatan. Selagi aku memperjuangkannya, sayangnya kamu telah menemukan rumah baru. Tempat yang telah kamu cari selama ini. Kamu penuhi rumah itu dengan senarai senyummu, atmosfer semangatmu, dan parfum keringatmu. Sedangkan, rumahku telah hampa.

Kembali

Ah, saat ini apa kamu tahu, aku telah kembali. Membangun puing rumah yang bersaratkan kenangan, bertandangkan kerelaan dengan firman Tuhan pada puncak-puncak dimensinya. Semoga kamu hendak berkunjung, suatu hari nanti.


–kutemukan keinginanku ketika melihatmu menyepi di kantin waktu itu

Comments

Popular Posts