Membaca Novel Olenka
Manusia,
Absurditas, dan Kewarasan
Didahului oleh ketidakinginan-membaca-roman, terpilihlah
Olenka. Dalam benakku, segala hal yang berkenaan dengan Budi Darma—si
pengarang—adalah pengacau akal sehat, peracau kelogisan. Karena itu, Olenka pun
juga pelarian sekaligus pencarianku demi mencari sisa-sisa kewarasan yang masih
ada di diri manusia.
Membaca cerita Olenka adalah selayak membaca konstruksi
tergelap manusia. Cerita berkisah tentang Fanton Drummond yang terobsesi dengan
Olenka. Karena Fanton sudah masuk ke dunia Olenka, mau tidak mau ia pun tahu
seluk-beluk dan asal-usulnya. Olenka yang gelap, Olenka yang suram, Olenka yang
pedih. Segala ”keolenkaan” itulah yang pada akhirnya membawa Fanton menuju
dimensi dirinya yang absurd—hampir mendekati kegilaan.
Ketika sampai di halaman akhir, aku merasa bahwa cerita
seharusnya belum selesai. Fanton seharusnya tidak berakhir dengan gamang.
Hidupnya juga masih terombang-ambing. Dan, hasratnya akan Olenka belum
terpenuhi. Namun, cerita tetaplah harus diselesaikan demi keseimbangan plot dan
ketidakbosanan proses membaca.
Namun, satu hal yang pasti, bahwa Olenka tetaplah Olenka.
Ceritanya akan melekat kuat di ingatan aku karena kekuatan kata-katanya,
plotnya, dan karakternya. Terima kasih, Pak Budi Darma atas Olenka-nya!
Kelogisan,
Kewarasan
Manusia adalah pusat segala akal sehat sekaligus hal yang
tidak waras sekalipun. Di satu sisi manusia menciptakan peradaban dibarengi
dengan majunya akal sehat. Namun, di lain sisi, terkadang manusia menjadi tidak
waras karena akal sehat tersebut. Saking sehatnya, bisa menjadi gila dibuatnya.
Begitulah, yang ingin disampaikan Pak Budi Darma lewat Olenka. Ada banyak hal yang bisa diulas
sedetail-detailnya, tapi inilah yang utama. Manusia. Absurditas. Kewarasan.
Lihat saja tokoh-tokoh yang diciptakan beliau. Fanton Drummond. Olenka Danton.
Wayne Danton. Mereka ini mampu mengonstruksikan sebuah dimensi manusia paling
suram. Juga, karakter khas mereka mampu memunculkan praduga bahwa manusia pada
dasarnya adalah makhluk Tuhan yang penuh kehampaan, kosong. Dan, itu benar
adanya—setidaknya pada saat ini.
“Saya
sangat mencintaimu. Saya mencintai tubuhmu. Sangat jelas dan indah. Saya senang
karena kamu tidak telanjang.” (hlm.
116)
“Dengan
konsep memperlakukan perempuan seperti memperlakukan alam, saya mempunyai
keyakinan teguh bahwa saya akan dapat menguasai Olenka.” (hlm. 334)
Lewat dialog di atas terbukti bahwa manusia adalah makhluk
yang mengatasnamakan cinta dalam hal kewarasan sekalipun. Mereka menjadi budak
di bawah kungkungan yang dinamakan cinta.
Di Luar
Batas, Absurditas
Manusia juga terkadang berada di kotak kemustahilan. Ketika
yang mustahil harus dijunjung, apa saja bisa korbankan. Bagi mereka, mustahil
adalah perjalanan menuju abadi. Untuk itulah, atas nama hasrat, manusia
mewujudkan sesuatu yang absurd, termasuk dirinya sendiri—tanpa disadari.
“Saya
masih sempat luntang-lantung, yang tidak lain dan tidak bukan merupakan
perlawanan saya terhadap keadaan saya, saya tidak dapat diikat oleh apa pun
karena keadaan tidak mempunyai kekuasaan penuh untuk menundukkan saya.” (hlm. 229)
“Sering
saya tidak tahu siapa saya, dan karena itu saya tidak tahu harus ke mana.
Setiap tindakan saya belum tentu berjalan ke arah tujuan saya, karena tujuan
itu sendiri sulit diraba.” (hlm.
383)
Lewat dialog di atas terbukti bahwa manusia memenuhi
gagasannya dengan hal yang abstrak. Hidupnya hanya terpaku pada susunan kata
mengenai kebimbangan, keraguan. Mereka seakan tidak mampu melawan nasib, tapi
sekaligus berhasrat untuk membantah takdir.
--
Pada akhirnya, Olenka adalah mengenai manusia kungkungan.
Perihal mereka yang mengikat diri pada hasrat individu walau absurd sekalipun.
Perihal mereka yang memilih menguburkan kewasaran mereka. Perihal mereka yang
terlahir kembali selepas meng-katarsis-kan diri.
Comments
Post a Comment