Manusia yang Menyepikan Diri

sepi dan menyepi

---
---

Berada di kedai makanan ini, aku menjumpai gemuruh. Suara-suara manusia kelaparan. Dari tiap mulutnya, lahir sumpah serapah, ketidaksabaran, hasrat menunaikan ibadah makan siang.

Pun, lepas menandaskan kelaparan, masih ada saja yang tertawa. Padahal, ada manusia lapar lainnya. Mereka butuh tempat untuk sekadar duduk melepas penat yang melekat, panas yang menggemas. Aku dan temanku, contohnya.

Aku mengekor temanku saja. Ia tahu betul mana kedai makanan yang menyajikan menu sehat nan pantas di kantong. Kami menelurusi lorong sebelah kiri. Sepanjang kutempuh lorong, manusia-manusia semakin beragam suaranya. Kelaparan. Ketidaktenangan. Keengganan menunggu. Kegagapan. Bahkan, kebahagiaan.

Aku berhenti di kedai nomor enam dari ujung. Entah, itu bukanlah angka eksak. Hanya kukira-kirakan—lebih kurangnya. Selagi temanku ini memesan menu andalannya, aku menunggu. Tentunya, aku juga memesan menu yang sama. Lagipula, apa hal yang bisa dikerjakan oleh manusia yang kelaparan selain tunggu-menunggu? Kutunggu kehadiran nikmat Tuhan bagi perutku dengan khidmat—tiada terduga-duga lamanya.

Harus bagaimana aku ungkapkan, ketika pada penantian perutku, aku menatap satu manusia kelaparan. Manusia yang padanya penuh peluh hasil aktivitas menelan nasi. Manusia yang sesekali mengusap keningnya yang berair. Manusia yang tiada melepas tatap dari nasi di hadapannya. Manusia yang terkadang meneguk air dari botol kemasan satu liter.

Manusia ini, pada ihwalnya, sangat kukenal. Wajahnya, lengannya, matanya, dan kantung matanya—ya, kantung mata miliknya. Lewatnya, segala kebahagiaan akan terlihat jelas. Jika manusia ini teramat bahagia, makin jadilah kantung mata itu. Namun, kali itu tiada kutangkap guratan kantung mata.

Manusia kelaparan ini mungkin sangat lapar. Aku yang menatap, bahkan, tiada ia sadari.  Ah, ataukah mungkin ia hanya menyembunyikan diri. Berharap manusia lain enggan menegur namanya. Dengan begitu, tak usahlah dihiraukan senyum yang terhantur baginya. Kuurungkan saja niatku menyapanya.

Dari sini pun, aku sanggup menatap manusia itu. Manusia yang tidak hanya lapar, pun sepi. Manusia yang dipenuhi dimensi kelengangan. Manusia yang memilih sunyi. Manusia yang dihinggapi kesendirian. Meski begitu, tetap saja, aku akan mendampinginya dari sini. Tanpa ia sadari, saat ini, aku mengagumi kesunyiannya, kesenyapannya.

Ah, tanpa kudasari, menuku sudah terhidang. Aku siap memenuhi perutku dengan makanan. Dan, merapalkan diksiku dengan cerita manusia kelaparan ini. Manusia kelaparan yang bahagia menyepikan diri.


P.S. kuharap saat kulihat kamu makan kemarin, meski sendiri—itu tak apa—, kakimu sudah benar-benar pulih, dan bisa melanjutkan pertandinganmu.

Comments

Popular Posts