Kamu dan Ceritaku yang Belum Usai

menjemputmu kembali


Semasa kecil, aku tumbuh dalam balutan fiksi. Ibuku, amat sering mengguyurku dengan rentetan dongeng. Ayahku, siap siaga jikalau stok dongengku meredup.

Menjelang tidur, ibu selalu melaksanakan tugasnya. Lewat dongeng yang selalu ibu suapi, fiksi bagaikan dunia antah-berantah. Dunia yang ibu bagikan ini lama-kelamaan menyusup ke relung hatiku. Oleh karena itu, bagiku, dongeng adalah semesta dan dimensi yang mengonstruksikan diriku.

Menjelang dewasa, fiksi bukanlah dongeng semata. Fiksi menghadirkan ruang dan masa yang hanya mampu ditembus oleh Yang Mahaagung. Di dalam ruang, terpendam seribu satu macam imajinasi para penganutnya. Dan, lewat masa, terhitung banyak puja-puji manusia yang rapuh. Karenanya, aku menghamba ruang, mengabdi masa.

Ah, tahu apa kamu mengenai yang sedang kubicarakan? Dan, kaitannya denganmu?

Selama ini, lebih kurang sepertiga dasawarsa lamanya, aku merajut sebuah cerita. Cerita ini selalu meminta hadirmu sebagai yang sentral. Apa alasannya coba saja kamu tanyakan kepada jari-jemariku yang tidak pernah absen menulis tentangmu. Apakah kamu menikmati cerita-cerita ini atau tidak, juga belum kutahu. Setidaknya, aku tidak berkehendak untuk berhenti menulis.

Dari awal aku menjadi temanmu, perihal kamu bukanlah soal penting. Kamu belum mampu menyita perhatianku—dahulu sekali. Waktu itu, kamu masih menjelma serpihan ingatan yang mulai mengendap dan hampir hilang. Untung saja, aku tidak menderita alzheimer.

Dengan begitu, mulai kususun serpihan itu agar menjelma konstruksi cerita teragung.

Aku menyertakan kamu dalam cerita teragung ini. Yang kelak, akan menjelmakan sebuah dimensi tiada akhir. Kamu akan selalu menjadi gemerisik daun kering yang menghayutkan kisahku, gemuruh yang menggusarkan ceritaku. Pada akhirnya, pada kamulah semuanya berlabuh.

Mengenai kamu yang menyepikan diri. Kamu yang menegarkan relung. Kamu yang menyemaikan senyum. Dan, kamu pulalah yang mengantarkan getar-gemetar. Masih pula, aku harus selesaikan perihal tawa dan bahagia. Semuanya, ada di dalam rentetan ceritaku.

Sudahkah kamu paham?

Untuk itulah, kamu masih kubutuhkan untuk menutup ceritaku. Sama seperti fiksi yang selalu ibu dongengkan untukku, yang berkelana di ruang dan waktu. Jadi,  berkenankah kamu menjadi andil selarut ruang dan sefana waktu?

Comments

Popular Posts