Bus yang Membawa Kita

Pada Kecanggungan


Kemarin, aku melihatmu di halte sekolah. Tidak sengaja, setangkup angin yang bercampur debu mengalirkan harummu yang gugur. Kamu juga gugup sekali waktu itu. Bisa kulihat dari matamu yang merampungkan keengganan berjumpa. Seringkali kamu menatap ponselmu. Jari-jemarimu pun tiada berhenti berlari di atasnya. Tapi, yang jelas, kutahu kegelisahanmu membara.

Gelisahmu makin menjadi-jadi. Kamu berpindah-pindah tempat. Berkali-kali juga menengok ke arah kanan. Barangkali, dari sana bisa kamu temukan satu pucuk pelarian. Ah, seperti gerak-gerik murid yang ketahuan menyontek saja. Atau mungkin kamu sudah mengetahui keberadaanku?

Tiba-tiba, kamu setengah berlari. Dan, entah didasari atas apa, kamu mempercepat langkahmu. Padahal kakimu sedang sakit, bukan? Tolong, jangan berlari. Aku tidak ingin melihatmu tertatih-tatih berjalan tanpa teman—untuk kedua kalinya.

Bus langganan kita datang. Tanpa ragu, kamu langsung naik sedang aku bimbang. Bimbang jika kehadiranku yang berada di dalam bus yang sama denganmu. Sangsi akan keenggananmu untuk bertegur sapa denganku. Benar saja, keraguan menghajarku tanpa ampun selepas menapakkan kaki di bus ini.

Berada satu bus denganmu adalah kuasa Tuhan paling baik. Setidaknya untuk setahun terakhir ini. Yang mana, kamu habiskan untuk tiada pernah mau berteman denganku. Padahal asal kamu ingat, kamu pernah mencoret-coret bukuku. Pernah pula mencela sekolah menengahku yang tidak sebagus milikmu. Bahkan, meminta bekal milikku tanpa terkira banyaknya. Kita pernah sedekat itu, tapi mungkin kamu lupa.

Padahal, aku tahu, siang itu bus kita lengang. Aku bisa melihatmu, begitu pun kamu. Kuharap, kamu akan menegurku lewat aplikasi chat yang serbacanggih itu. Kita satu bus, coba tengok ke kiri. Aku membayangkan kalimat itu singgah di layar ponselku. Kemudian, kita saling senyum. Ah, tapi itu hanyalah angan.

Empat puluh menit lamanya kita bersama. Tak sekali pun kamu menyapa atau melihatku, aku pun begitu. Kamu begitu enggan, lalu aku sadar diri. Pemberhentian terakhir bus kita akhirnya sampai. Hatiku berdegup mengimajinasikan apa hal yang akan terjadi nanti. Apakah kamu tidak akan menghindariku, lalu melihat dan menyapaku. Kemudian, larut dalam percakapan tiada tara. Hingga lupa pada tujuan sebuah pulang.

Ah, sayangnya imajinasiku terlalu absurd. Begitu aku turun, aku melihat bayangmu. Ketika bayang manusia lain lenyap, milikmu adalah yang paling anggun. Kamu melewatiku begitu saja—tidak ada satupun keinginan menegur dan bercakap-cakap. Belum lagi, kegelisahanmu malah makin jelas. Kamu banyak bergerak ke sana ke mari. Tolong, jangan banyak bergerak, kakimu masih sakit, bukan?

Kamu menghilang tiba-tiba. Oiya, baru kusadari kamu malah mengambil bus ke arah yang lebih lama. Padahal, kita harusnya mengambil bus yang sama. Kita tidak satu bus lagi, bukan satu pemahaman lagi.

Sekarang, aku paham. Kamu ingin menghindariku. Sebegitu kuatkah ketidakinginan kamu bersitatap denganku? Sebegitukah kamu tidak sekalipun mengharapkanku bahkan hanya sekadar menjadi teman bercakap? Jangankan bercakap, bertemu pun tidak pernah kamu inginkan.

Pulang

Nyatanya, kuasa Tuhan masih difirmankan kepadaku. Saat itu, aku masih bisa melihatmu, sebelum benar-benar berpisah. Kamu tengah menunggu busmu lagi. Sedangkan, bus milikku telah mengantarkanku pulang.
Ingin sekali aku menemanimu waktu itu—dan seterusnya. Menghabiskan waktu mendengar keluh kesahmu dengan patuh. Mengamati kantung matamu apakah berbinar sewaktu kamu bercerita. Menjadi penyimpan cerita hidupmu yang kadang tawa kadang nestapa. Aku bersedia, tapi kamu tidak.



[10 Januari 2019]

Note : aku suka sekali rambutmu yang mulai memanjang itu, jika berkenan, tolong jangan potong rambutmu itu.

Comments

Popular Posts