Daun Mangga itu Menulis Kamu


Jika harus jujur, saat ini aku sangat menyukai semesta hijau. Pohon, rumput, daun, buah yang belum masak, atau bahkan ikon kampus kita. Hijau dan semestanya menggugurkan banyak sekali keteduhan dan kedamaian. Keduanya telah, secara tidak langsung, menganugerahiku ion-ion positif dari Yang Mahaagung sehingga ruhku masih ada.

Pun, belakangan ini, aku menjadi lebih menjunjung mulia sebuah potret. Aku inginkan agar yang hijau-hijau tadi tetap hidup, tidak pernah lelah akan masa. Namun, potret itu akan menjelma buih-buih debu dan sayap-sayap sendu, pada akhirnya. Yang masih ada hanyalah kenangan—atau ingatan?—pada peristiwa.

---

Kalau kamu ingat, di depan kelas kita terdapat dedaunan mangga. Segar sekaligus lapuk, khas makhluk tanah sekolah yang diguyur air yang terkasih. Pohon yang hijau nan tua itu masih saja belum berputik, entah karena hal apa. Padahal, jika bisa, mungkin mangga itu akan digerogoti serangga pemakan buah.

Setiap menjelang cahaya, aku selalu hanyut dalam dongeng pohon itu. Ia bercerita banyak padaku, tentang kelam, kasih, dan rindu. Mereka dilampiaskan oleh jiwa manusia yang tiap ruangnya membutuhkan sandaran. Termasuk aku, yang waktu itu masih meraba-raba kelak dunia apa yang akan aku jamahi.

Kemudian, pada tiap raungan ruh dan jiwaku yang sunyi, pohon itu setia membersamaiku. Aku keluhkan perihal pelajaran yang sulit aku raup, kejadian menyebalkan yang memilihku, atau ion-ion negatif yang semakin mengikatku. Tanpa aku sadari, ia menggemerisikkan dedaunnya tanda mengerti. Kemudian, hikayatmu kamu juga kisahkan.

“Aku menaruh seluruh relungku padanya, si lelaki dengan kantung mata yang gugur,” bisikku.

“Oh, dia. Tetaplah bersamanya,” gemerisikmu mendekatiku.

Selanjutnya, aku masih terus-menerus mengisahkan kamu kepada pohon itu. Mulai dari kamu yang resah, kamu yang pasrah, hingga kamu yang gundah. Bahkan, ketika kamu menjadikan perempuan itu sebagai relung terdalammu, aku menjelma pupus. Aku tidak mau mengisahkan bagian terkelam ini kepada pohon mangga itu, tetapi tetap saja ia tahu.

“Tetaplah bersamanya, apapun yang terjadi. Kamu telah serapuh-rapuhnya jatuh padanya,” angin senja itu menyampaikan inginmu.

Seraya memandangimu, aku gumamkan, “Adalah rindu yang sarat, renjana yang syahdu, dan kasih yang menanti yaitu aku. Dan, kamu ialah segala pengakhiranku yang paling agung.”

Maka, dengan itu, meskipun aku sering mendapati senyummu berlayar pada milik perempuan itu, tetap saja aku masih menaruh relung padamu. Walaupun kantung matamu semakin rindu akan dia, masih saja aku menyimpan banyak kasih untukmu.

Aku tidak mau relungku padamu ini hanya terkenang belaka, tanpa ada relung lain pun yang tahu. Kemudian, aku berinisiatif untuk memotretmu—demi keabadian. Dalam potret, aku merajutmu melalui guratan-guratan kecil di sebuah ruang tanpa lema.

Daun-daun mangga itu menjadi akhir dari proses mengabadikan kamu. Aku goreskan setiap garis namamu dalam aksara lain. Mengapa? Tentu saja supaya kamu tidak tahu hal itu. Pun, aku torehkan garis namaku, dengan sadar. Aku menaruh milikmu dan milikku dalam satu ruang tanpa sekat dengan tanda hati antarkeduanya.

“Kamu tidak perlu sadar akan guratan ini, yang perlu kamu sadari adalah relungku selalu memilih kamu—sampai kapanpun.”

---

Hampir sepertiga dekade lamanya aku tidak pernah mengunjungi pohon mangga itu. Bukan hanya ingin mengunjungi ruang tanpa sekat itu, tetapi juga ingin kembali bercakap-cakap dengannya. Entah, mungkin saja, saat ini pohon mangga itu telah layu, lapuk, kemudian musnah. Pun, dengan ruang tanpa sekat itu, yang di dalamnya terdapat namaku dan namamu, duniaku dan duniamu.

“Ruang dengan nama aku dan kamu boleh saja hilang, tapi tidak dengan kenangan akannya, akan kerinduan, akan penantian”

- ditorehkan pada suatu larut akan kerinduan kepada kamu dan semesta kenangan

Comments

Popular Posts