Cerpen Kompas 2015 : Sebuah Ulasan

Ulasan Cerpen Kompas 2015


Mengulas cerpen Kompas bagiku memang merupakan adrenalin dan kesenangan tersendiri. Setiap tahunnya, kumpulan cerpen ini memiliki “warna” yang unik dan berbeda. Sebuah peristiwa dikupas dari beragam sudut pandang, penonjolan, dan detailnya masing-masing. Dari situlah, kelak kekhasan dan kebaharuan cerpen akan terkuak.

Buku Cerpen Pilihan Kompas 2015 ini memiliki 23 buah cerpen dengan “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karangan Ahmad Tohari sebagai cerpen utamanya. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, juri yang memilih ke-23 cerpen ini berjumlah 5 orang, yaitu Myrna Ratna, Putu Fajar Arcana, Frans Sartono, Indira Permanasari, dan Efix Mulyadi.

Namun, sayangnya, sama seperti cerpen tahun selanjutnya yaitu 2016—aku sudah buat ulasan di tautan ini http://bianglalateratai.blogspot.com/2017/08/buku-cerpen-kompas-2016.html— tidak ada epilog yang dibuat oleh “ahli tertentu”. Padahal, tentu saja dengan adanya epilog dari ahli di bidang lain, cerpen-cerpen akan semakin luas untuk ditafsirkan. Tentunya, keputusan ini menimbulkan hal baik yaitu peran juri bukanlah sekadar “memilih”, tetapi juga turut andil dalam “merangkum” keseluruhan yang ada dalam kata pengantar buku. Mulai dari atmosfer dalam cerpen-cerpen terpilih, tema apa yang dominan, hingga kemungkinan pengarang dalam menyajikan sebuah peristiwa.

Menurut tim juri dalam bagian kata pengantar, cerpen-cerpen tahun 2015 ini banyak sekali yang menyuarakan tentang ketersisihan dan ketidakadilan bagi orang-orang bawah atau yang minor. Bukan hanya dari hal ekonomi atau sosial, tetapi juga menjadi minoritas dalam hal jati diri, misalnya fenomena LGBT. Ketersisihan dan ketidakadilan ini pada akhrinya akan bermuara pada pengekspresian hak yang di dalamnya mencerminkan kemarahan terselubung.

Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? Ahmad Tohari
Cerita yang disuguhkan ini sangatlah related dengan kehidupan kota yang di satu sisi megah dan di sisi yang lain “resah”. Ahmad Tohari mengisahkan sebuah keluarga yang hidup di pinggir rel kereta api. Meskipun berkehidupan sangat minim, mereka memiliki kebahagiaan dan kebebasan yang tiada tara. Frasa “mau mengencingi” yang ada di judul menggambarkan bagaimana kaum miskin ini suatu hari kelak bisa juga “marah” karena diperlakukan tidak adil oleh sistem.

Tajen Terakhir Gde Aryantha Soethama
Gde Aryantha Soethama, seperti telah menjadi karakteristiknya, beliau tetap memilih budaya Bali sebagai tema di dalam cerpennya—termasuk yang satu ini. “Tajen Terakhir” menjadi perpaduan yang apik antara keinginan untuk berhenti dari tradisi dan pengkhianatan cinta. Tokoh utama harus memilih antarkeduanya. Dan, di akhir cerita, tokoh harus mengorbankan cintanya demi “lepas” dari tradisi tajen (adu ayam).

Orang-orang dari Selatan harus Mati Malam itu – Faisal Oddang
Pengarang yang satu ini juga masih mengambil tradisi Sulawesi sebagai tema cerpennya. Kali ini, Faisal Oddang bercerita mengenai permasalahan keyakinan. Masyarakat Tolotang yang bertuhankan Dewata Sewwae, dipaksa untuk menganut agama resmi. Kalau tidak, mereka dianggap melanggar aturan negera dan harus dimusnahkan. Bisa ditebak bahwa mereka menuruti aturan, meskipun Tuhan mereka tetap satu, yaitu Dewata Sewwae. Plot cerita dirajut dengan apik tanpa terkesan “serius” karena dibalut dalam kisah asmara. Keren banget!

Hakim Sarmin – Agus Noor
Rupanya, masalah yang seringkali disepelekan bisa diangkat menjadi sebuah kisah yang menyentuh, seperti cerpen “Hakim Sarmin” ini. Sarmin adalah seorang hakim yang pada suatu waktu menangani kasus besar, yaitu pembunuhan atas dasar dendam karena pemerkosaan. Agus Noor sangat detail dan intens dalam membawa pembaca ke dalam suasana hati dan kebimbangan Sarmin ketika menangani kasus ini. Apakah ia harus menghukum mati si pembunuh atau malah membebaskannya? Jawabannya adalah benar-benar di luar dugaan dan mengaduk-aduk hati nurani Sarmin.

Basa-basi – Jujur Prananto
Serius, bagiku “Basa-basi” adalah perihal kesehari-harian yang menjelma tradisi masyarakat. Kehidupan pegawai bawahan dalam menghadapi atasannya sudah cukup melelahkan. Apalagi, ditambah dengan kebiasaan atasannya yang suka berbasa-basi tidak penting. Ceritanya sangat sederhana dan mudah dicerna, apalagi terkadang terdapat beberapa plot yang segar sehingga memperkuat kesan yang “sehari-hari”—khas Jujur Prananto.

Upacara Hoe – Guntur Alam
Ini keren banget ceritanya. Pengarang mengambil tema yang hangat sekaligus sensitif, yaitu LGBT. Berdasarkan cerpen, upacara hoe merupakan upacara kematian membawa hoe yang dilakukan oleh anak laki-laki dalam tradisi Tionghoa. Apa jadinya bila yang dianggap laki-laki malah berjiwa perempuan, dan yang berwujud perempuan justru mengambil alih dengan membawa hoe? Begitulah singkatnya yang ingin disampaikan oleh Guntur Alam. Plot cerita juga turut menampilkan bagaimana perasaan tiap tokoh yang terlibat di dalamnya. Pokoknya, bagus banget!

Penguburan Kembali Sitaresmi – Triyanto Triwikromo
Triyanto Triwikromo kembali memilih “mitos” sebagai temanya yang berkarakter. Diceritakan dari sudut pandang seseorang yang dianggap tidak penting, tetapi justru menjadi juru kunci dari sebuah peristiwa sejarah yang tragis dan magis. Yang menjadi inti bukanlah bagaimana si tokoh ini mengisahkan cerita versinya yang terbilang aneh, tetapi siapakah tokoh ini sebenarnya. Karena, sebuah cerita bisa dipercaya jika ada seseorang yang menjadi saksi. Pada akhirnya, cerita ini berakhir dengan menimbulkan banyak penafsiran dariku sendiri.

Dua Penyanyi – Budi Darma
Cerpen ini, buatku, benar-benar membutuhkan fokus yang mendalam. Karena, penamaan tokoh dan tempat dikreasikan “sangat mirip” dan sedemikian rupa. (Kalian harus baca. Harus banget!). Inti cerita hanyalah mengenai garis tangan dan takdir Tuhan terhadap dua orang kembar yang tidak pernah diduga-duga oleh mereka sendiri.

Lidah Ketut Rapti – Ni Komang Ariani
Ketika pertama kali baca ini, nuansanya memang sudah “seram”. Bayangkan saja, setiap bagian cerita menyuguhkan lidah sebagai “penghalus” plot. Tokoh Ketut yang sudah sukses di Jakarta menginginkan kesuksesannya bertambah dengan meminta sahabatnya, Made, untuk memberikan lidahnya. Alasannya sangat lucu, yaitu karena pelafalan Made terhadap huruf “t” masih kental. Dan, berdasarkan penelitian, memang benar bahwa orang Bali mengucapkan huruf “t” dengan kental dan jelas.

Liang Liu – Dewa Ria Utari
Bagiku, ini juga sarat dengan misteri dan masa lalu yang kelam. Pohon liang liu digunakan tokoh sebagai perwujudan kasihnya terhadap seseorang yang tidak bisa ia dapatkan. Umur menjadi persoalan yang utama. Hingga pada akhirnya, selama penantian hidupnya, ia hanya melukis pohon liang liu yang gelap dan kelam. Hm, di sini cinta dan masa lalu ternyata mampu mengubah hidup seseorang.

Batu Lumut Kapas – Gus TF Sakai
Gus TF Sakai tidak pernah jauh-jauh dari tema “desa” dan “kearifan lokal”. Kali ini beliau menceritakan mengenai batu akik khas Desa Suliki yang katanya sangat sulit ditemukan—bernama batu lumut kapas. Namun, ternyata banyak terdapat di perkotaan macam Jakarta. Pada akhir cerita, salah seorang pengumpul batu akik ini mendadak meninggal karena merasa ”gagal” dalam mengoleksi batu ini. Ah, berapa akhir yang sedih! Dan, tanpa disangka-sangka batu lumut kapas ini nyatanya masih banyak didapatkan di desa tersebut, bukan di kota.

Sebatang Lengkeng yang Bercerita – Miranda Seftiana
Cerita dikisahkan—atau didongengkan?—dari sudut pandang sebuah pohon kelengkeng. Kisah yang memilukan, tetapi bagi masyarakat kita adalah sebuah larangan, yaitu mengenai LGBT. Rajab, bertubuh laki-laki sekaligus berjiwa perempuan, hendak dijodohkan. Namun, tentu saja ia menolak dan memilih kabur bersama kekasih hatinya, Landung. Yang khas dari cerita ini adalah pembaca diajak untuk berlayar bersama nasib pohon kelengkeng yang nahas dan gundah gulananya Rajab dalam mempertahankan hidup dan cintanya.

Surat Nurlan Dualay kepada Junjungan Jiwanya – Martin Aleida
Martin Aleida—yang pada Buku Cerpen Kompas 2016—menjadi pemenang cerpen utama, tetap memilih “sejarah dan politik” sebagai temanya yang berkarakter. Tokoh Nurlay Dualay mengisahkan perjalanan hidupnya yang dilingkupi keganasan dan kengerian militer zaman dahulu. Ketika akhirnya ia bebas dari penjara dan hidup puluhan tahun setelahnya, peradaban telah mengubah segalanya. Yang unik dari cerpen ini adalah penceritaan akan kengerian, keganasan, dan penyiksaan militer tidaklah terlalu “serius” karena diselingi dengan percintaan terhadap Las, cinta sejati Nurlay.

Sebotol Hujan untuk Sapardi – Joko Pinurbo
Membaca cerpen ini, serasa aku membaca pengalaman pribadi seorang JokPin. JokPin yang seorang penyair sekaligus pengagum Sapardi Djoko Damono. Cerpen ini berkisah tentang keinginan tokoh untuk bertemu idolanya, Sapardi. Banyak kesempatan memang, tapi takdir belum mempertemukan mereka. Hingga akhirnya, ketika bisa berjumpa, Sapardi dihadiahi “hujan” yang menjadi kesukaannya—yang menjelma bunga. Membaca cerpen karangan JokPin akan banyak sekali disuguhi bahasa yang puitis dan agung, tidak terkecuali yang satu ini.

Jemari Kiri – Djenar Maesa Ayu
Penderitaan perempuan akan pelecehan seksual yang dialaminya memang mampu menjelma nightmare yang amat menyakitkan. Sama halnya dengan yang dialami tokoh Nayla. Pernikahan dan cinta, ternyata, tidak mampu menyelamatkannya dari trauma tersebut. Kenyataan bahwa jemari kiri yang dikisahkan tidak bisa bergerak karena disematkan cincin pernikahan dan akhirnya dipotong, menjadi sebuah pertanda bahwa ia masih terkungkung oleh trauma tersebut. Sungguh kisah yang menyedihkan, hm!

Leteh – Oka Rusmini
Cerpen “Leteh”—yang baru aku ketahui di akhir—adalah tentang LGBT memang tidak berbeda jauh dari dua cerpen sebelumnya, yaitu “Upacara Hoe” dan “Sebatang Lengkeng yang Bercerita”. Namun, unggulnya adalah “Leteh” mampu membawa tradisi, kepercayaan, dan budaya Bali sehingga menjadi penentu plot cerita. Pada awal cerita, tema cerita sangat kental dengan “kebalian” tersebut. Dan, pada akhirnya, kasus LGBT tersebut diungkap sendiri oleh tokoh.

Kebohongan itu Manis, Vardhazh – Indra Tranggono
Politik adalah sebuah kebohongan dan rakyat adalah objek yang tepat untuk dijadikan target. Mungkin itu adalah pernyataan yang relevan dengan cerpen ini. Dikisahkan bahwa seorang pemimpin yang berbohong dengan berpura-pura mati demi kepentingannya sendiri. Namun, pada akhirnya, memang karakternya yang ingin selalu menang, ia bahkan meminta pengorbanan pelayan setianya—atas dasar kepercayaan—yang amat sangat krisis. Pada akhirnya, seperti yang telah diduga, pemimpin ini kembali dipercaya oleh seluruh rakyatnya.

Savonette – Wirih Wisatna
Jujur saja, “Savonette” menjadi cerpen dengan banyak penafsiran yang bercabang. Hanya berkisah tentang alorji antik yang jarum jamnya bermasalah. Ketika berhasil diperbaiki, hidup si pemilik menjadi berubah drastis ke arah yang positif. Sayangnya, saat jarum jam ini kembali bermasalah, terjadi banyak bencana akibat tidak berfungsinya waktu. Mungkingkah arloji ini adalah jam terpenting pada suatu masa? Hm, bisa jadi.

Linuwih Aroma Jarik Baru – Anggun Prameswari
Takdir Tuhan tidak bisa dilawan—ini adalah fakta—sama seperti yang ada di cerpen ini. Berkisah mengenai hidup setelah mati yang sekaligus dianugerahi kemampuan mengetahui kematian orang atau disebut linuwih. Bagi banyak orang, ini adalah titipan, tetapi lain halnya dengan si tokoh utama yang menyadari bahwa itu adalah musibah. Dengan kemampuan itu, bisa dipastikan ia mengetahui kematian orang-orang terkasihnya. Aroma jarik (batik) baru dianggap sebagai “pertanda” dari orang yang akan mati. Ceritanya benar-benar mengalir dan penuh dengan nuansa “kasih sayang”. Sangat direkomendasikan!

Sepasang Kekasih di Bawah Reruntuhan – AK Basuki
A must-read! Ini adalah tentang cinta sejati seperti Romeo-Juliet yang tidak lekang oleh waktu, meskipun sudah mati sekalipun. Sepasang suami-istri bercakap-cakap tentang cinta dan kematian saat tubuh mereka dibalut bangunan yang roboh. Sayangnya, mereka meninggal. Namun, kisah cinta kembali dirajut di negeri “surga” dan “mimpi”; tempat mereka bertemu kembali. Plotnya sangat menyentuh, membuatku terenyuh, serta kembali mengingatkanku pada hakikat cinta yang abadi.

Tepi Shire – Tawakal M. Iqbal
Secara tidak langsung, “Tepi Shire” menguakkan kembali nasib orang yang hidup setelah mengalami perang. Dari sisi psikis dan fisik mereka yang terganggu hingga kelanjutan roda kehidupan mereka yang pas-pas-an. Di sini, cerpen mengisahkan fenomena tersebut dari sudut pandang seorang pendatang. Dan, hebatnya, ini sangat detail dalam menggambarkan pendatang ini yang “indonesia banget” karena kepeduliannya yang cukup lucu dan khas. Ah, coba kalian baca sendiri saja, ya!

Jenggo – Putu Wijaya
Menjadi pahlawan, tak peduli laki-laki atau perempuan, tidak hanya harus berpangkat tentara, tetapi juga bisa dengan peduli keluarga dan lingkungan. Sekiranya, itulah yang ingin disampaikan Putu Wijaya lewat “Jenggo” ini. Gaya bahasa yang digunakan sangat khas warga perkotaan yang singkat, padat, dan jelas—sama seperti cerpen-cerpennya Putu Wijaya. Tokohnya bernama Jenggo, laki-laki yang feminin (re: banci), hendak mendaftar ke ABRI supaya menjadi pahlawan. Pada akhirnya, Jenggo adalah pahlawan bagi keluarganya dan dirinya sendiri—dengan tidak menjadi tentara.

Nomor – Seno Gumira Ajidarma
Selalu—adalah selalu—saja cerpen Seno menjadi yang paling abstrak, bagiku. Berkisah mengenai deretan nomor yang berasal dari ruh manusia yang telah meninggal. Nomor tersebut menyimpan banyak kenangan bagi siapapun yang pernah kenal dengannya. Dari sini, menurutku, Seno ingin menyampaikan bahwa ketika manusia meninggal, kenangan akannya tidak bisa begitu saja hilang. Ia akan terus diingat sampai masanya yang memang harus dilupakan. Benar-benar harus fokus ketika aku baca “Nomor” ini!

---

Wah, sampai juga aku di akhir ulasan. Yipiiiiii! Dari ke-23 cerpen di atas, saatnya aku menentukan pilihanku sendiri hehe. Cerpen utamanya memang “Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karangan Ahmad Tohari. Namun, aku lebih menyukai cerpennya Guntur Alam yaitu “Upacara Hoe”. Aku suka bagaimana pengarang mengambil tema yang saat itu lagi hangat (LGBT) ke dalam sebuah cerita keluarga Tionghoa. Tidak lupa pula, tema tersebut dipadukan dengan tradisi dan budaya yang sangat sakral dan pada akhirnya menumbuhkan kesan dan penghayatan tersendiri.

Semoga tulisan ini bisa membantu kalian dalam memahami cerpen Kompas ya! Jangan lupa juga untuk membaca Cerpen Pilihan Kompas 2015! Nanti aku kembali lagi dengan ulasan cerpen Kompas lagi hehehe.

Comments

Popular Posts