Perempuan dan Penjual Bunga Bersyal Merah

Motif awal aku beli buku berjudul Penjual Bunga Bersyal Merah dan Cerita Lainnya yang dikarang oleh Yetti A.K.A. ini di BBW 2018 adalah karena salah satu tulisan rekomendasi ditulis oleh Faisal Oddang. Iya Faisal Oddang, yang cerpen Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon-nya jadi andalan di Cerpen Pilihan Kompas 2014. Ternyata, aku baru tahu bahwa Yetti juga salah satu orang yang juga bergelut di bidang sastra. Pikiranku saat itu adalah aku tidak salah pilih buku! Sudah tidak diragukan lagi hasil karyanya—tentunya.


Mengenai Judul-judul Segar yang Perempuan

Ketika aku baca judul-judul cerpen Mbak Yetti di daftar isinya, yang terlintas di benakku adalah sebuah konsep yang sangat perempuan, wanita, ataupun cewek. Mengapa demikian? Sebut saja konsep “kupu-kupu”, “bunga”, “merah” atau nama seperti “Dora”, “Landra”, “Tania”, “Maganda”. Praduga itu semakin diperkuat dengan bukti bahwa setelah aku baca, memang betul bahwa nuansa dan plot cerita yang ada di sebagian besar cerpen adalah berputar pada perempuan, wanita, atau cewek tersebut.

Selain itu, judul-judul yang dipilih Mbak Yetti juga enggak biasa. Beliau memadukan semesta alam yang “lembut”. Alam yang terbilang lembut ini akan beliau hubungkan dengan konsep perempuan tersebut dan pada akhirnya turut menyatu dengan plot. Misalnya, “kebun bunga”, “kupu-kupu”, “hujan”, “bulan”. Kealaman ini, bagi sebagian besar masyarakat kita, sangat identik dengan perempuan.

Terlepas dari judul cerpen, plot yang terkandung di dalam cerpen-cerpen Mbak Yetti ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan perempuan—baik itu wanita, cewek, maupun anak-anak. Kehidupan mereka ini dipengaruhi oleh bagaimana waktu dan alam turut menyertai. Sehingga, pada akhirnya, menjadi sebuah cerita sederhana yang sebenarnya cukup ganjil dan menggemaskan untuk dinarasikan.

Duapuluh Satu Cerpen yang Melankolis

Apa itu melankolis? Melankolis adalah sedih. Melankolis adalah meratap. Melankolis adalah berharap. Mungkin iya, mungkin tidak. Di dalam keduapuluh satu cerpen Mbak Yetti ini, sebagian besar tidak terlepas dari nuansa melankolis.

Sebut saja judul “Mimpi” yang bercerita mengenai seseorang yang memiliki mimpi sekaligus kenyataan bahwa rambutnya ditumbuhi padang rumput yang disinggahi capung. Seseorang ini berjumpa dengan seseorang lainnya yang dalam sekejap membuat dirinya dihinggapi kenangan dan keraguan.
“Dalam hidup, aku sering berpikir perasaan kesepian hanya bisa diobati dengan pergi sendirian ke sebuah tempat di mana aku tak perlu menyembunyikan mataku yang mati, wajahku yang datar, bibirku yang tertutup kaku.”(hlm. 50).

Lain halnya dengan cerpen “Sweter” yang berputar pada kenangan akan masa lalu dan masa depan. Cerpen ini berkisah tentang sebuah keluarga yang tidak hamonis dan dipenuhi ketidakberuntungan.
“Aku penasaran apa yang bisa dilakukan waktu di dalam sana selain mengekalkan kenangan dalam rumah ini? Barangkali tak ada. Barangkali tugas waktu memang hanya dua. Membuat masa depan dan masa lalu.” (hlm. 65).

Konsep perempuan dan anak-anak kental dalam cerpen “Landra Boleh Memetik Bunga-bunga”. Bagaimana cara seorang ibu menghadapi anak perempuannya yang nakal dan penasaran akan segala hal? Bagaimana jika anaknya itu hanya memetik bunga dan membuat kukunya kotor? Sepertinya, hukuman dikurung di kamar masih menjadi pilihan, tetapi itu bukanlah yang terbaik bagi si anak.
“Ia tak mau dan karenanya memilih berjarak. Jarak akan membuatnya melihat sesuatu dengan baik—atau paling tidak menghindarkannya jadi seorang perempuan dewasa yang suka membuat aturan-aturan yang tidak bisa diterima anak kecil.” (hlm. 93).

Mbak Yetti dan Dunia Perempuan

Membaca cerpen-cerpen Mbak Yetti dalam Penjual Bunga Bersyal Merah dan Cerita Lainnya, mengingatkanku pada satu nama. Intan Paramaditha. Beliau adalah seorang penulis cerita terkenal. Mbak Yetti dan Mbak Intan ini memiliki kemiripan dari cara mereka memilih diksi. Diksi dipilih dan dipadupadankan sedemikian rupa sehingga menghasilkan nuansa “kehati-hatian” dan “kewaspadaan” plot cerita.

Terlepas dari kemiripan mereka, kesan pertama dari Mbak Yetti ini adalah bahwa karakteristik cerita-ceritanya tidak jauh dari dunia perempuan yang dibangun melalui konstruksi diksi. Konstruksi diksi ini nantinya menguatkan persepsi akan kenangan masa lalu dan masa depan di dalam cerita. Singkatnya, cerita-cerita Mbak Yetti adalah sebuah diksi perempuan yang penuh kenangan.

Sekian. Selamat membaca, semuanya!

Comments

Popular Posts