Buku-buku yang Mengubah Dunia 4
Inilah Buku-buku
yang Mempengaruhi Dunia (part 4)
Alhamdulillah, akhirnya aku kembali
bisa menulis di blog. Setelah berkutat dengan rasa malas, tulisan ini pun
hadir. Masih merupakan kelanjutan dari part
3 di http://bianglalateratai.blogspot.com/2018/08/buku-buku-yang-mengubah-dunia-3.html dari buku Buku-buku
yang Mengubah Dunia karya Andrew Taylor.
Dialogo
Sopra I Due Massimi Sistemi del Mondo oleh Galileo Galilie
Dialogo, yang dikarang oleh Galileo Galilie,
diterjemahkan menjadi Dialogue Concerning
the Two Chief World Systems, Ptolemaic, and Copernican. Karya yang
diterbitkan tahun 1632 ini berisi tentang pembantahan Galileo terhadap teori
oleh “geosentrik” Aristoteles. Artinya, bumi adalah pusat dari tata surya,
sedangkan Galileo menyatakan “heliosentrik” yaitu matahari sebagai pusat tata
surya. Sebelumnya, konsep heliosentrik—bumi dan planet lainnya mengelilingi
matahari—dicetuskan oleh Copernicus tahun 1543 dalam bukunya, De Revolutionibus Orbium Coeslestium (On the Revolutions of the Celestial Spheres).
Tentu saja pada awalnya pihak gereja
menolak mengakui Dialogo ini. Namun,
setelahnya, diadakanlah diskusi antara pendukung Galileo (Salviati), pihak
tengah (Sagredo), dan pendukung Aristoteles (Simplicio). Sebenarnya, teori yang
dikemukakan oleh Galileo sangat kuat, tetapi Simplicio tidak mau menerima hal
itu dan tetap mengajukan argumentasi lemah yang hanya membuat mereka terlihat
bodoh.
‘Salviati: “... Fenomena tersebut dapat direkonsiliasi
dengan pendapat bahwa bumi itu tetap dan tidak bergerak hanya dengan
mengungkapkan semua simetri yang terlihat di antara kecepatan dan ukuran benda
bergerak ...”
Simplicio: “... Saya mengenal beberapa filsuf
Peripatetic, dan mendengar bahwa mereka menasehati murid-murid mereka untuk
tidak mempalajari matematika sebagai sesuatu yang membelenggu akal dan tidak
patut untuk berfilsafat murni ...“’
(Dialogo Sopra I
Due Massimi del Mondo, ‘Hari Ketiga’, diterjemahkan oleh Stillman Drake,
1953)
Kutipan di atas secara implisit
menyatakan bahwa mereka harus memilih antara kebenaran sains dan filsafat agung
Aristoteles. Namun, sayangnya karena heliosentriknya yang dianggap oleh pihak
gereja sebagai kebohongan, membuatnya dipenjarakan selama sembilan tahun dan
karya-karyanya tidak boleh diterbitkan. Pada tahun 1637 Galileo buta, tetapi
tetap menghasilkan karya. Akhirnya, tahun 1642 ia meninggal di Arcetri.
Principa
Mathematica oleh Isaac Newton
(Sumber gambar : https://www.pbagalleries.com/view-auctions/catalog/id/180/lot/51739/Philosophiae-naturalis-principia-mathematica)
Dari judulnya, sebenarnya aku dan
mungkin sebagian besar orang akan menganggap bahwa ini adalah karya di bidang
matematika murni, nyatanya bukan. Principia
Mathematica berisi hukum-hukum fisika yang kita kenal sampai sekarang dan
matematika—juga merupakan kitab matematika dan fisika.
Adalah Isaac Newton yang menulisnya.
Ketika berkuliah, ia sempat pulang karena Cambridge University ditutup. Dan, di
masa inilah ia “berjaya”. Pada tahun 1684, ia menulis De Motu Corporum in Gyrum (On
the Motion of Revolving Bodies) untuk Edmond Halley, seorang astronom.
Principia
Mathematica, atau Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
(Mathematical Principles of Natural
Histories) ditulis Newton tahun 1687. Karya ini dibagi menjadi tiga volume.
Uniknya adalah bahwa ia mendapatkan dorongan untuk menulis ini dari sebuah apel
yang jatuh dari pohon.
Di bagian awal Principia Mathematica, Newton menjelaskan hukum pergerakan yang
masih ada sampai saat ini.
‘Hukum 1: ”Setiap benda tetap berada
dalam keadaan diam, atau bergerak seragam pada garis lurus, kecuali benda itu
dipaksa berubah akibat ada gaya yang diberikan.
Hukum 2: “Percepatan sebuah
benda yang diberi gaya adalah sebanding dengan besar gaya yang berbanding
terbalik dengan massa benda. Dan membentuk garis lurus searah dengan arah gaya
tersebut.”
Hukum 3: “Untuk setiap aksi
akan selalu ada reaksi yang berlawan arah yang sama besar: atau apabila dua
buah benda saling memberikan gaya satu sama lain, maka kedua gaya tersebut
memiliki besar yang sama tetapi berlawanan arah.”’
(Principia
Mathematica, diterjemahkan oleh Andrew Motte, 1729)
Lebih
jelasnya, bagian pertama Principia
Mathematica merupakan penjabaran dari penemuan
Galileo Galilie mengenai hukum pergerakan di atas melalui konsep percepatan,
gaya, waktu, dan massa. Bagian keduanya mengenai pergerakan benda dalam cairan
yang memiliki tahanan dan cara cairan itu bergerak melalui gelombang. Lalu,
bagian terakhir menjelaskan bagaimana hukum gravitasinya—tentang buah apel
tadi.
Para kritikus masa itu
tidak bisa menerima hukum gravitasi Newton karena dianggap tidak logis meskipun
analisis yang diajukannya kuat. Newton sendiri pun mengakui untuk sulit percaya
bagaimana bisa dua benda yang berjauhan bisa dipertemukan oleh sebuah gaya
tarik. Barulah ketika Albert Einstein, sekitar 300 tahun kemudian,
menyempurnakannya dengan teori relativitasnya.
A
Dictionary of the English Language oleh Samuel Johnson
(Sumber gambar : https://exhibits.library.unt.edu/bureaucracy-love-story/items/johnson%E2%80%99s-dictionary-english-language)
Apa jadinya kalau sebuah kamus
beratnya mencapai 10 kg dengan harga 900 dollar? Hmm terasa bukan buku tetapi
benda semacam kulkas atau televisi ya. Namun, itu adalah fakta.
Di dalam A Dictionary of the English Language terdapat dua volume yang
ditulis selama sembilan tahun sampai tahun 1755 oleh Samuel Johnson, seorang
pujangga, bersama rekan-rekannya. Bukan tanpa alasan dalam menulis kamus itu.
Hal ini karena tahun-tahun itu adalah waktunya manusia mengumpulkan dan mengabadikan
pengetahuan—atau disebut Zaman Pencerahan.
Samuel Johnson sendiri mengatakan
bahwa ia banyak mengambil kosakata yang ada di kamusnya dari kutipan sastrawan,
termasuk Shakespeare—keseluruhan kosakata berjumlah 42.773. Tidak dipungkiri
juga bahwa satu kosakata bisa mengandung lebih dari satu makna. Namun, di satu
sisi ia juga menyadari bahwa dengan adanya kamus, orang-orang akan terkungkung
oleh arti atau makna dan mengesampingkan hakikat bahasa yang dinamis dan bisa
saja berubah.
“Bagi
mereka yang yakin akan kebaikan rancangan saya, akan menuntut kamus saya bisa
memperbaiki bahasa kita, dan menghentikan masuknya semua perubahan yang
berlangsung akibat adanya waktu dan kesempatan. ... Dan dengan perlakuan yang
sama tercelalah para ahli leksikograf yang meskipun tidak mau memberikan contoh
satu bangsa pun yang telah mampu mengabadikan kata dan frasanya sehingga tak
berubah, tetap membayangkan bahwa kamus yang dibuatnya mampu mengawetkan
bahasanya, dan memastikannya tidak akan melenceng dan membusuk, dan bahwa ia mampu
mengubah sifat duniawi, dan membersihkan dunia dari kebodohan, kesombongan, dan
kepura-puraan secara serentak.”
(A Dictionary of the English Language,
Prakata, 1755)
Munculnya
kamus Johnson nyatanya membawa dampak baik. Satu abad setelah kamus ini terbit,
muncullah Oxford English Dictionary
untuk pertama kalinya pada tahun 1884 dengan 410 ribu kosakata. Di Amerika,
terbit pula Compendious Dictionary of the
English Language tahun 1828. Selain kamus, merebak juga istilah ”Johnsonisme”.
Hal ini berkaitan erat dengan pandangan pribadinya terhadap makna kosakata yang
ditulisnya dan lebih sering bersifat candaan. Namun, bisa jadi pemaknaan ini
bercabang menjadi yang positif dan negatif
Niat mulia Johnson ini hanyalah
menjadikan penutur bahasa Inggris konsisten terhadap apa yang dikatakan mereka,
baik tulisan maupun lisan. Dan, sedikit banyak tidak sepenuhnya benar karena
kedinamisan bahasa tersebut.
The
Sorrows of Young Werther oleh Johann Wolfgang von Goethe
(Sumber gambar : https://apilgriminnarnia.com/2014/07/21/goethe/goethe-the-sorrows-of-young-werther-death-scene/)
Nah, ini dia cerita yang katanya
menjadi pencetus konsep romantisme di literatur Barat. Bagaimana enggak? The Sorrows of Young Werther adalah
kisah mengenai kasih tak sampai yang membawa efek samping yang negatif bagi
kejiwaan tokoh—bunuh diri. Selain itu, nuansa yang sangat kental dengan
kekuatan cinta, nafsu, keinginan kuat untuk memiliki mendominasi selama kisah
berlangsung. Semua ini merupakan cerita yang belum pernah ada sebelumnya atau konsep
romantisme masa awal. Tidak jauh berbeda dengan sajian dalam cerita klasik Wuthering Heights yang merupakan
romantisme yang mencekam.
The
Sorrows of Young Werther
oleh pengarangnya yaitu Johann Wolfgan von Goethe disajikan dalam bentuk surat.
Kisah ini sebenarnya adalah semo-biografi dirinya karena sebagian besar
merupakan kehidupan pribadi Goethe. Diceritakan bahwa Werther menyimpan rasa
kepada Lotte yang sudah menikah. Kesedihannya berujung pada hasrat yang kuat
untuk menyatakan perasaannya yang pada akhirnya menuntunnya pada jalan bunuh
diri.
“Aku berharap untuk dikubur dengan mengenakan pakaian
ini, Lotte; sentuhlah mereka dan mereka akan menjadi suci; aku juga telah
mengajukan permintaan kepada ayahmu. Jiwaku akan terus mengawasi peti matiku
... Ciptaan Tuhan terkasih! Aku dapat merasakan mereka bermain gembira
bersamaku. Ah, betapa dekatnya aku selama ini denganmu! Bagaimana mungkin aku
meninggalkanmu semenjak detik pertama bertemu!”
(The Sorrows of
Young Werther, diterjemahkan oleh Michael Hulse, 1989)
Goethe sendiri adalah seorang penulis
yang aktif dengan 90 buah buku. Selepas ia menerbitkan The Sorrows of Young Werther beragam dampak hebat muncul. Mulai
dari tuduhan bahwa karya itu telah meningkatkan angka bunuh diri orang-orang,
istilah “Dampak Werther” yaitu keinginan untuk mati, serta gebrakan yang paling
parah yakni pergerakan Romantik—pengekspresian hasrat, cinta yang menggebu, penggambaran
psikis yang sakit, atau penomorsatuan perasaan.
The
Wealth of Nation oleh Adam Smith
(Sumber gambar : http://www.simonandschuster.com/books/On-the-Wealth-of-Nations/Adam-Smith/9781625589002)
Terlepas dari sifat alami manusia,
yaitu egois, sebenarnya, individu dikendalikan oleh “tangan tak tampak” demi
kesejahteraan orang lain. Konsep “tangan tak tampak” atau “invisible hand” menjadi fokus utama dalam buku The Weatlh of Nations. Konsep
ini kelak akan mengantarkan kita pada kebijakan pajak saat ini. Buku yang memiliki judul asli An Inquiry into the Nature and Cause of the
Weatlh of Nations ini muncul pada tahun 1771. Sebagian besar berisikan
sejarah, filsafat, dan ekonomi-politis.
Di dalam The Wealth of Nations, dijelaskan tema
ekonomi utama yaitu pemisahan tenaga kerja, keinginan mengejar kepentingan
pribadi, dan kebebasan untuk berniaga. Ketiganya merujuk pada konsep “tangan
tak tampak” tersebut. Seseorang yang bekerja memproduksi sepatu, misalnya, ia
bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan uang atau untung, tetapi juga membantu
orang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
“Setiap individu ... tidak ada yang berkeinginan untuk
mendahulukan kepentingan publik ataupun mengetahui seberapa besar dia
mendukungnya ... Dengan mengejar kepentingan pribadinya, dia akan lebih sering
mendorong kepentingan masyarakat hingga memberikan hasil ketimbang ketika dia
benar-benar bertujuan untuk mendorongnya.”
(The Wealth of Nations, Buku IV, Bab 2, 1776)
The
Wealth of Nations
muncul ketika dunia Barat mengalami perubahan besar dalam lingkup sosial dan
ekonomi. Latar belakang inilah yang menyebabkan banyak pakar mempertimbangkan
apakah pemerintah memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan keuangan warga
negaranya atau apakah penarikan pajak perlu diterapkan demi kesejahteraan warga
negara. Pada akhirnya, terlepas dari perdebatan apapun, pajak tetap diterapkan.
Sekali lagi, Smith menekankan konsep
“tangan tak tampak” yang pada awalnya hanya ada di karya sebelumnya, The Theory of Moral Sentiments. Ia
bertanya-tanya bagaimana bisa seseorang masih memikirkan kepentingan orang lain
saat sedang mengerjakan kepentingannya. Kemudian, menurutnya, kepentingan
pribadi ini dikendalikan oleh perasaan berpikir dan simpati terhadap orang
lain.
Masih
ada kelanjutan dari buku-buku yang memengaruhi kehidupan manusia di part 5, lho! Terima kasih ^^
Comments
Post a Comment