Adalah Tentang Narasi Lampau Kita
Semesta Antarkita
Ang, salah seorang sanak familiku, memutuskan untuk
bersekolah di sekolah menengah pertama yang dahulu pernah aku jamahi. Sekolah masa
ini adalah fase hidup yang amat sangat riuh, gemas, dan membanggakan. Perihal seragam
baru, teman baru, ruang kelas baru—dan mungkin saja perasaan baru. Perasaan
semacam menaruh kagum, menyimpan deru seringai, atau menanam diam yang sayang.
Seketika saja, aku mengingat satu ruh manusia, yang
derai-derai namanya selalu aku rekatkan di lembaran buku, di sapuan tisu, atau
di muka meja. Sungguh, bukankah itu adalah pembuktian perasaan cinta paling
hujan dan candra?
---
Kiranya waktu itu adalah tujuh tahun yang lalu,
ketika satu tahun terakhir sebelum aku menjajakan semesta dewasa. Sihir macam
apa yang telah aku teguk atau panjatan jenis apa yang sudah aku pinta,
tiba-tiba aku memutuskan untuk menargetkanmu. Aku targetkan kamu sebagai kasih
paling damai dan tenteram, tetapi terkadang luhur.
Dahulu, kita adalah dua ruh manusia yang sudah
saling mengenal. Pun, kamu yang memang mengasihi teman masa kecilku sebagai
juwitamu. Ah, iya, belum lagi ternyata juwitamu yang lain juga memiliki nama yang sama
persis dengan milikku. Waktu itu, aku berpikir bahwa kelak kamu akan mengasihiku
dengan kasih yang syahdu pula. Bukankah itu suatu wasiat tersembunyi Tuhan akan
kita?
Aku percaya bahwa Tuhan selalu mewasiatkan segala
hal baik untukku. Seperti takdir kita yang tidak menjadi teman sekelas. Lorong lantai
dua sekolah kita membentuk huruf L dengan kelasku di ujung yang satu, dan
kelasmu di ujung yang satu lagi. Dan, berkah Tuhan memang ajaib. Dari depan
kelasku ternyata aku bisa menatapi kamu dengan sangat jernih. Lebih jernih
daripada kilau-kemilau surya pagi. Begitulah, aku selalu memiliki alasan untuk
berlama-lama di depan kelas. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk memiliki
kesukaan baru—membersamai surya dan kamu.
Ketika aku menjadikanmu kasih yang damai, aku pernah
melakukan hal semacam pengorbanan tiada tara. Ehm, maksudku, sedikit saja pengorbanan tidak
apa, bukan? Waktu itu adalah hari kelahiranmu. Ah, aku ingat, ternyata tanggal
lahir kita sama! Aku memutuskan untuk memberikanmu semacam pembuktian bahwa aku
merayakan hari itu. Kue berperisa cokelat hangat dengan lilin di atasnya—akhirnya
aku memilihnya. Senang rasanya bisa merayakan hari itu walau hanya satu kali.
Perihal kesempatan yang hanya satu, aku juga
teringat saat itu. Tanpa direncanakan, kita bertemu di suatu tempat yang
kebetulan sedang menyajikan pagelaran musik. Dalam sekejap aku sudah berada di
kerumunan orang. Kita sudah sama-sama menikmati musik itu, bukan? Demi Tuhan, aku
harus jujur di sini, aku sama sekali tidak menyukai musik itu, kalau saja bukan
kamu yang menyeretku.
Hingga pada akhirnya, ketika kita hendak berpisah
untuk masa depan, aku sangat mengharapkan kasihmu. Namun, kasihmu tidak kunjung
menepi dan malah berlayar entah ke mana. Kamu yang memang berlayar atau aku
yang seharusnya menyepikan kasih ini?
---
Setelah sekian lama tidak saling sapa, akhirnya kita
kembali bersapa-sapa semu sampai sekarang. Kita sudah saling temu dan aku harap
semoga kasihku ini tak kembali semi. Ah, mengenai semi, aku teringat sebuah
musim. Musim yang selalu memotret banyak seringai yang sangat damai. Sama seperti
kasihku terdahulu, di depan kelas. Kasihku yang membersamaimu selayang pandang,
selepas pulang.
- untuk memupuk yang lampau agar menjadi benih
kenangan
Comments
Post a Comment