Reruntuhan Musim Dingin : A Little Thought


 Semesta Cinta dan Konsep untuk Kembali


Barangkali aku mempercayai begitu saja takdir Tuhan terhadapku. Bertemu denganmu, tanpa disengaja karena pada akhirnya perpisahan akan mengambil tanggung jawab akan kita. Untuk itulah, kita—tepatnya aku—tak perlu risau akan kehilangan. Kehilangan yang sebenarnya adalah nihil karena kita tak memiliki satu hal pun di semesta ini; terutama perasaan.

Sama seperti yang banyak diungkapkan oleh Sungging Raga dalam bukunya Reruntuhan Musim Dingin, perjumpaan adalah bagian dari perpisahan. Buku ini aku beli dari Big Bad Wolf 2018 di ICE BSD yihiii. Ini adalah sampul depan dari buku yang kumaksud.


Aku suka banget sama buku ini karena tema yang diangkat adalah masalah universal—cinta. Namun, dalam bentuk yang berbeda, unik, dan segar tentunya. Sungging sendiri dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa sebenarnya perihal cinta ini telah ia dekap bersama cerpen-cerpennya ini. Bukan masalah tujuan apa yang akan ia dapatkan, melainkan tentang keterikatan batin yang telah menuntunnya pada apa yang akan ia tuangkan ke dalam cerpennya. Dari situlah kita tahu bahwa kekuatan imajinasi telah bekerja berdasar atas cinta.

Di buku ini juga dilengkapi oleh cuap-cuap yang dituangkan oleh Tia Setiadi, seorang kritikus sastra. Menurut Tia, Sungging telah berhasil mengkonstruksi keterikatan manusia dengan semesta dalam lingkup rasa cinta.

“Cinta. Itulah pusat cerpen-cerpen Sungging Raga, tali pusar yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya, yang bisa memiuh atau mengembang, lurus atau bercecabang, tapi pada akhrinya selalu berpulang dan menggulung kembali kepada cintanya.”

Singkatnya, cinta adalah segala sesuatu untuk kita kembali.

Di buku ini ada 22 cerpen yang bertemakan cinta. Sepanjang perjalanan membaca, aku menyadari bahwa ke-22 cerpen ini memiliki konfliknya masing-masing yang enggak klise. Tiap-tiapnya memiliki kelebihan dan kekurangan yang sulit buat aku nentuin mana yang jadi juaranya hehehe. Pengarangnya sendiri, Sungging Raga, sering nongol di Cerpen Pilihan Kompas. Terakhir, sih, kemarin di tahun 2013 dengan cerpennya, Alesia.

Satu hal yang aku yakini bahwa selama proses membaca, unsur melankolis benar-benar melekat—bagiku—di banyak cerpen. Sebut saja cerpen Dermaga Patah Hati; Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus; atau Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis. Konsep menunggu, takdir yang tidak indah, penantian, semuanya pas melekat di ketiga cerpen di atas.

Lain halnya dengan cerpen Rayuan Sungai Serayu. Di sini, Sungging menunjukkan bahwa semesta yang nyata bisa melebur menjadi imajinasi. Sungai Serayu diceritakan menghilang dan merupa wujud wanita cantik yang kemudian menikahi manusia. Kisah cinta keduanya bagiku serupa kisah cinta Romeo-Juliet, abadi, murni, seperti kutipan berikut.

“Itulah cinta yang sebenarnya, ketika kita biarkan segalanya terjadi secara alami, dan selalu menyiapkan diri kita pada setiap bagian keindahannya. Daun yang menyerahkan sepenuhnya perasaan itu pada siapa pun yang menyukainya, meski kelak ia akan dikesampingkan, disia-siakan.”

Lanjutnya, di dalam Turbulensi Kenangan, Biografi Kunnaila, dan Biografi Sepasang Rangka disuguhkan alur cerita yang “ngena banget”. Hal ini karena, bagiku, terjangan ingatan dan kenangan akan sesuatu akan mendobrak imajinasi kita. Kehidupan pada satu titik akan dijelaskan secara rinci dan khas sehingga kita tidak menyadari bahwa hal itu hanyalah titik kecil yang tidak kita indahkan.

Kemudian, cerpen Sepasang Semut dan Gadis Kecil yang Sedih menjadi pemikiranku selanjutnya. Cerpen ini berkisah tentang kehidupan semut yang tinggal di rumah anak kecil yang hidupnya tidak bahagia. Rentetan makna kehidupan yang sebenarnya diibaratkan hanya diketahui oleh hewan, bukan manusia. Seperti pada kutipan berikut.

“Namun tentu tak seorang manusia pun tahu kisah apa yang mereka bawa, sebab semut ditakdirkan untuk diremehkan, padahal ketika seekor semut mati, maka ada sebuah rantai hidup yang berhenti, rantai hidup kecil yang tersembunyi, yang lebih gelap dari kegelapan itu sendiri, tapi bukankah dunia selalu menawarkan sisi paling kelam pada siapa pun yang hidup di atasnya?”

Penantian juga menjadi konsentrasi utama di dalam cerpen Lovelornia—tentang cinta masa tua—yang pada akhirnya merupakan sebuah ilusi semata. Seberapa besar cinta kita kepada seseorang, tetap saja cinta kelak akan hilang, lenyap, bahkan musnah. Karena, apapun yang abadi akan menyebabkan sebuah pengkhianatan kodrat semesta.

“Abadi? Hahaha. Tidak. Tidak ada yang abadi. Itu mengerikan. Bahkan dunia ini sendiri akan hancur. Akan kiamat. Jadi debu beterbangan di angkasa. Ah, jangan-jangan, kita akan tetap hidup meski dunia sudah kiamat, dan tinggal kita berdua, tetap saling mencintai di atas gelimpang mayat-mayat manusia, di atas reruntuhan bumi.”

Pada akhirnya, Reruntuhan Musim Dingin-lah yang menjadi cerpen utama—sesuai judul buku. Cerpen yang berkisah tentang perjumpaan seorang penjual permen dengan seorang penulis harus ditakdirkan menunggu sampai masa tua mereka. Frase “musim dingin” diibaratkan sebagai jumlah tahun yang harus dilewati. Kutipan di bawah ini menjadi kesukaanku.

““Kupikir, sebaiknya kamu jangan jatuh cinta kepada penulis. Ia lebih banyak memeras kenangan, sebanyak mungkin darimu, untuk kemudian ditinggalkan.””

Bagiku, 22 cerpen yang ada di dalam buku adalah juara, pemenang. Meskipun tidak semua cerpen aku bahas secara detail, tetap saja kesemuanya bagus. Mereka, 22 cerpen ini, berhasil meramu kesungguhan cinta, perasaan menunggu, penantian, atau takdir abadi menjadi sebuah alur cerita yang segar dan murni. Pembelokan antarperistiwa terjalin secara wajar dan tidak berlebihan. Di satu sisi, pemilihan diksi juga tidak “tinggi” sehingga tidak terkesan menyastra. Seperti apa yang disebutkannya terdahulu, cerpen-cerpennyalah yang menuntunnya menulis, tanpa tujuan apapun.

Sekali lagi, cinta adalah konsep untuk kembali.

Ayo segera baca buku ini dan maknai sendiri semesta cinta! Karena, cinta adalah kembali~

Comments

Popular Posts