Cuap-cuap tentang Celia dan Gelas-gelas di Kepalanya

Celia dan Gelas-gelas di Kepalanya
Kumpulan Cerpen Pilihan #KampusFiksiEmas2016
---
Ketika Musik, Film, dan Parfum Menerbitkan Kamu


Susah sekali rasanya untuk membangkitkan semangat menulis ketika apa yang seharusnya menjadi puing sorakan malah terpagut-pagut menjelma denyut tanpa nyawa. Mungkin karena kamu yang sudah terlalu jauh melangkah ataukah aku yang terlampau lamban? Setidaknya yang aku tahu bahwa aku masih memiliki semangat mengagumimu lewat huruf per huruf yang aku rajut.

Namun, sungguh kali ini untuk menuntaskan tulisan yang kerapkali merayap pelan di guratan kepala membutuhkan amat-sangat banyak pengorbanan, pengharapan, dan doa. Hehe. Baiklah, mari kita beralih ke tulisanku satu ini. Apa yang akan aku tulis adalah cuap-cuap magis selepas aku membaca buku dengan judul Celia dan Gelas-gelas di Kepalanya. Buku ini adalah kumpulan cerpen pilihan dari #KampusFiksiEmas2016 yang diterbitkan oleh DIVA Press yang aku beli dari event Book Big Wolf 2018. Harganya bersahabat banget sama kantong mahasiswa macam aku hehe.

(Sampul depan buku)

Seperti kata rektor Kampus Fiksi sendiri, Edi AH Iyubenu, di dalam kata pengantarnya bahwa buku itu dilahirkan karena faktor ingin menolong manusia muda dari kekurangtahuan akan literasi yang berujung pada persaudaraan. Usaha ini, katanya, semoga saja bisa menghasilkan manusia serupa Tere Liye atau Eka Kurniawan sehingga mampu mencetak satu titik sejarah semesta yang mahaluas ini.

Di dalam buku ini tertanam tiga belas benih cerita singkat yang bertemakan musik, film, atau parfum. Ketiga belas benih tersebut dierami oleh para pengarang sekaligus anggota #KampusFiksi terpilih yang layak ditancapkan nama di dalam buku ini.

Meskipun ketiga belas cerita ini menceritakan kehidupan anak Adam yang tidak jauh dari titik pusat antara musik, film, atau parfum, tetapi ketiganya memiliki dominasi yang berbeda. Ada juga beberapa cerita dengan subtema yang saling membantu sehingga berwujud perpaduan yang apik. Namun, sayangnya karena imajinasi pengarang dibatasi oleh tiga hal tersebut, plot cerita terkadang terkesan dibuat-buat. Dibuat-buat dalam maksud “dipaksakan” sehingga pembelokan antarperistiwa menjadi tidak halus.

Terlepas dari itu semua, toh, ketiga belasnya merupakan juara dari sekian banyak benih yang lain. Selain itu, meskipun cerita mengenai cinta masih menjadi primadona, proses pengeraman yang unik membuatnya menjadi out of the box dan nyastra banget. Ada yang berkisah tentang cinta manusia masa kolonial, cinta gila yang berakhir seram, pengalaman menyusuri atmosfer bumi, dan cinta serta petualangan unik lainnya.

Pengarang juga sebagian besar tidak memilih untuk menggunakan diksi yang memberi kesan sastra karena mereka tahu konsumsi pasar akan sulit mencerna jika mereka melakukannya. Malah, mereka menggunakan diksi yang mudah dipahami dan sehari-hari, tetapi hal itu tidak membuat plot menjadi “biasa”. Ada juga beberapa cerita yang mungkin dengan sengaja menggunakan plot yang asbtrak sekaligus diksi yang sulit dipahami bagi aku. Hal ini mengharuskanku membacanya berulang kali untuk menangkap maksud dari cerita.

Sama seperti judul buku ini, cerita dengan judul Celia dan Gelas-gelas di Kepalanya mampu menyabet juara dari kedua belas cerita lainnya. Bagiku cerita ini memiliki kekuatan pada masalah yang sekarang ini dianggap sebagai masalah kronis abad ini yaitu masalah batin—yang disebabkan oleh tokoh itu sendiri, yaitu Celia. Ia menganggap suara pecahan gelas yang dikiranya disebabkan oleh kucingnya mampu menembus pertahanan tubuhnya dan sukses menancap menjadi mahkota. Padahal, tanpa ia sadari suara pecahan itu berasal dari pertengkaran orangtuanya.

Kedua belas cerita lainnya adalah sebagai berikut—yang kuurutkan berdasarkan daftar isi buku.
1.  Wajah-wajah dalam Kaset Pita karangan Gin Teguh
2. Fatwa Soal Lelaki dan Perempuan karangan Amaliah Black
3. Lelaki yang Menyatakan Cinta dengan Menjadi Bayangan karangan Evi Sri Rezeki
4. Black Butterfly karangan Sugianto
5. Celia dan Gelas-gelas di Kepalanya karangan Lugina W.G.
6. Dokumenter tentang Lelaki yang Menyekap “Seandainya” di Mulutnya karangan Eva Sri Rahayu
7. Le Nozze di Figaro karangan Sayfullan
8. Goodbye karangan Ghyna Amanda
9. Sepasang Mata Terakhir di Negeri Ini karangan Frida Kurniawan
10. Cintalah yang Membuat Diri Betah untuk Sesekali Bertahan karangan Puput Palipuring Tyas
11. Psikadelia karangan Farrahnanda
12. Yang Menunggu di Dalam Cermin karangan Erin Cipta
13. Kisah yang Tak Perlu Dipercaya karangan Reni F.Z.

Pada akhirnya, cerita-cerita di atas mampu memasukkan unsur musik, film, atau parfum ke dalam plot yang wajar sehingga ketika dibaca tidak akan disanggah oleh pembacanya. Karena, ini adalah fiksi. Bukan perihal mana yang logis, mana yang tidak, tetapi mana yang dianggap nyata secara imaji oleh manusia—kita.

Aku pribadi menganggap cerita Lelaki yang Menyatakan Cinta dengan Menjadi Bayangan karangan Evi Sri Rezeki sebagai juara di dalam kotak imajinasiku. Ceritanya sederhana, hanya tentang cinta yang terlalu cinta, seperti dalam novel klasik Mansfield Park. Di sini, pengarang lihai dalam membuat antarkejadian seakan-akan nyata dan alami. Cinta yang pada awalnya merupakan kesetiaan lalu berubah menjadi ketidakinginan untuk berpisah. Lewat unsur parfum kayu gaharu yang menjadi penghubung cerita, parfum ini pula yang menjadi tokoh magis yang utama.

Kemudian, pada intinya, keseluruhan cerita di atas membuat benang merah akan sesuatu yang sebenarnya takdir, adalah takdir. Adalah apa yang menjadi cinta, tentulah cinta. Janganlah terlalu dalam, janganlah terlalu menuhankan. Seperti kutipan dalam cerita Lelaki yang Menyatakan Cinta dengan Menjadi Bayangan,

“Ia hanya memegang teguh definisi cinta menurut Plato, cinta paling sempurna ada dalam pikiran, cukup diam, dan tak perlu diucapkan.”

Lalu, apa cerita kesukaanmu? Akhirnya, selamat membaca! ^^

Comments

Popular Posts