Katamu, Perempuan Melankolis


Perempuan Melankolis, Katamu




“Hidupmu dikungkung melankolia.”
“Aku menikmatinya.”
“Pun aku akan menyertaimu menikmatinya.”

Kata orang-orang, aku terlalu melankolis. Entah mengapa streotip itu melekat erat pada diriku. Padahal, mereka tidak tahu betul mengenai dimensi hidup yang kubangun. Dimensi yang tampak riuh rendah namun menyatu padu dengan rayap-rayap kematian.

Mungkin mereka mengira aku menyukai hujan. Hujan yang bagi mereka adalah air yang turun dari langit, sedang bagiku adalah pertanda aku harus siap menghadapi rentetan kenangan yang silih berganti. Kenangan buruk, kenangan indah, kenangan tak menyenangkan, kenangan tak bertuan. Mereka kemudian menyelinap masuk ke memori otak, memporak-porandakan pelabuhan jiwa, dan meninggalkannya dengan segenggam kemenangan. Aku kalah, aku akui. Kenangan dalam sekejap membuatku luruh di dalamnya.

Mungkin mereka mengira aku menyukai kesunyian. Bagi mereka sunyi adalah adalah konsep tanpa seperkawanan, tanpa sepertertawaan, yang harus dijauhkan dari mereka. Namun, sunyi adalah keriuhan yang disembunyikan, kebahagiaan tersembunyi. Ada saatnya sunyi itu aku dekap, ada saatnya pula aku lepaskan. Sama seperti ketika sunyi memilih untuk bersamaku saat ada kamu.

Mungkin mereka mengira aku menyukai jendela. Jendela yang bagi mereka berwujud kotak berkaca, sedang aku menganggapnya sebagai kotak penuh harapan. Dari jendela kelas, misalnya, banyak harapku yang muncul, melayang-layang di gumpalan awan yang kemudian hilang karena atmosfer bumi. Apakah Tuhan menyembunyikan harapanku itu untuk aku petik kembali saat jiwa telah siap?

Mungkin mereka mengira aku menyukai keteraturan. Keteraturan hanya membuat mereka muak, pun ia membuatku tekad. Segala hal yang teratur mampu menjadikanku sebuah lingkaran tanpa sudut, manusia tanpa jeda. Mereka boleh saja menganggapku sebuah kebosanan hidup, tetapi aku harap kamu tidak melemparku ke dalam konsep akan hidup yang kosong.

Hujan, sunyi, jendela, keteraturan, kosong sudah menjelma bagian melankolia yang orang-orang itu sematkan padaku. Aku adalah hujan yang merupa sunyi pada sebuah jendela dalam dimensi yang teratur dan kosong. Mereka bisa saja menyebutku semacam itu, tetapi aku justru menyukainya. Melankolia adalah sebuah diorama. Diorama akan sebuah hidup yang merekah sunyi sebelum sayu yang akhirnya membentuk konstuksi kedamaian tersendiri. Itulah hakikat melankolia yang sebenarnya.

Menerima yang telah Tuhan berikan dan selalu berterima kasih kepada Tuhan perihal segala unsur di hidup menjadi melankolia yang kedua. Termasuk dirimu. Aku sudah menerima kamu menjadi bagian yang terpendam sejak lama dan berterima kasih atas segala yang ada karena kamu. Aku adalah perempuan melankolis dengan melankolia yang kamu lengkap dengan dimensi hidup antarkeduanya.

“Hidupku dikungkung melankolia.”
“Kamu menikmatinya.”
“Pun kamu yang menyertaiku menikmatinya.”



as long as I can put you in my poetry and poem,
2018

Comments

Popular Posts