Kartini Muda di Era Digital

Selamat hari Kartini, kawula muda khususnya perempuan! Di tahun 2018 ini, apa yang kalian lakuin untuk ngerayain hari Kartini kalau lagi tanggal 21 April? Hm, biasanya sih kebanyakan orang ya pakai kebaya, terus lomba siapa yang paling cantik kebayanya, ya sejenis catwalk di karpet merah gitu ya hehehe.
Kali ini aku bakal ngebagiin tulisan aku yang masih erat kaitannya dengan hari Kartini, meskipun sudah lewat sebulan dari tanggal 21 April hehe. Tulisan ini sebenarnya adalah tulisan yang kukirim buat ikut Citizen Journalism Challenge yang diadain oleh BEM UNJ. Dan, tulisanku berhasil menang, yeay.
Selamat membaca ya! ^^
Semoga ke depannya akan ada lebih banyak Kartini yang menggeluti bidang literasi supaya negeri ini bisa jadi negeri yang lebih maju.

KARTINI ERA MILENIAL : PENGGERAK LITERASI UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BERBUDAYA

Setiap bangsa pasti memiliki hari nasional sendiri. Ditetapkannya hari nasional tersebut tidak terlepas dari peristiwa besar yang mempengaruhi keadaan bangsa. Pun Indonesia yang memiliki hari nasional, salah satunya adalah hari Kartini. Kita, orang Indonesia, memperingati hari Kartini setiap tanggal 21 April. Sebagian dari kita mungkin hanya sekadar ingat dan tahu, tanpa mau memaknai hakikat apa yang terkandung di dalam hari bersejarah tersebut.
Ditetapkannya hari Kartini setiap tanggal 21 April, tidak terlepas dari peran serta Kartini. Raden Adjeng Kartini dikenal karena buku dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku tersebut berisikan surat-surat yang ditujukan kepada sahabat penanya di Belanda. Surat-surat tersebut sebagian besar berkisah tentang perempuan dan kedudukannya dan keinginan untuk emansipasi. Pada awalnya, judul kumpulan surat itu adalah Door Duistemis Tot Licht dan judul Habis Gelap Terbitlah Terang diberikan oleh Armijn Pane tahun 1938.
Kartini masa dahulu “berperang” tidak menggunakan pedang dan senapan, tetapi melalui pemikiran yang ditulisnya melalui surat. Namun, karena itulah benih-benih ide beliau masih dimanfaatkan oleh kita sampai saat ini. Khususnya, di bidang pendidikan, literasi, dan kesetaraan gender perempuan. Menyinggung soal literasi, Kartini adalah sosok inspiratif yang menyukai dunia literasi. Ia suka membaca kemudian menuangkan segala keluh kesahnya ke dalam bentuk tulisan. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan tingginya.
Pada masa sekarang, terutama era milenial, yang mana dunia sudah sangat dipengaruhi—dan tentunya mengalami ketergantungan—teknologi, paradigma literasi sudah berubah. Yang dahulunya kita harus membaca dan menulis secara manual, sekarang ini kita dimudahkan dengan gawai dan sentuhan-sentuhannya. Jika kita ingin membaca, kita pergi ke perpustakaan, tetapi sekarang kita bisa hanya dengan satu klikan dan terjunlah langsung kita ke dunia penuh jurnal online. Yang lebih parahnya lagi, jika kita malas membaca, sudah tersedia audio-book yaitu buku yang hanya dengan mendengarkan tanpa harus membacanya, kita bisa mengetahui isinya.
Pergeseran-pergeseran karena teknologi itu sebenarnya bisa kita atasi dengan cara yang sederhana. Dengan lebih mencintai dunia literasi—khususnya membaca dan menulis. Bahkan sebuah sumber menyatakan bahwa membaca dan menulis lebih disukai oleh perempuan, sama seperti Kartini. Hal ini karena di dalam otak perempuan, ruang khusus untuk bahasa ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki. Teori ini juga diperkuat dengan “fenomena membaca di dalam transportasi umum” yang banyak dilakukan oleh perempuan.
Perempuan-perempuan yang mencintai dunia literasi inilah yang seharusnya menjadi gerbang utama, Kartini masa kini, dalam membentuk karakter-karakter bangsa yang berbudaya. Bayangkan saja jika kita sebagai perempuan menyebarkan virus-virus “cinta” membaca dan menulis, bisa jadi orang yang melihat akan terkena virus ini dan kemudian menyebarkan kembali kepada orang lain. Begitulah seterusnya sampai benih-benih generas setelahnya mencintai literasi.
Tidak dipungkiri lagi bahwa karakter generasi milenial yang pada awalnya berkiblat pada teknologi bisa kembali pada literasi murni. Salah satu jalannya adalah dengan menempatkan perempuan sebagai penggerak literasi untuk menuju Indonesia yang berbudaya. Dengan begitu, ide-ide yang muncul akan dituangkan ke dalam tulisan dan mempengaruhi bangsa ini ke depannya, sama seperti Kartini. Karena, kita adalah Kartini masa kini, Kartini yang mencintai literasi, dan Kartini yang mencintai tanah air Indonesia.

Salam, Kartini era milenial yang menggeluti bidang literasi lokal.

Comments

Popular Posts