Mengapa Kamu Terpatut Sendu dan Sunyi
Sebuah Kisah Klasik di Senja ke-17
Akhir-akhir ini aku mencari-cari kesunyian.
Mendambakannya, menghamba padanya, mendoakannya agar ia sudi kembali kepadaku. Hingga
tiba waktunya ketika aku lelah dengan fananya hidup, ketika aku ingin menutup
lembar-lembar catatan, dan ketika aku hendak berdiam diri selamanya, pemilik
dari segala sunyi melahirkan kamu.
Tepatnya adalah kemarin. Riuh-riuh itu mengajakku menjelajahimu
lebih intens. Selama beriuh-riuh, nyatanya semesta belum menampakkanmu. Yang
ada hanyalah teman karibmu dengan kegelisahan di binar matanya. Menantimu,
mungkin, sama kiranya denganku. Tak terterka berapa banyak degup saat kosmos
yang agung mengizinkanku mendekapmu. Simsalabim,
ucapnya; kamu muncul.
Lima tahun kiranya aku mengasihimu dan baru kali
ini pun kamu kenakan batik bernada sejuk. Batik itu sangat serasi denganmu.
Kamu juga tidak berubah sejak terakhir aku mendapatimu di persimpangan bimbang
sore itu. Masih memiliki dingin yang terkasih sama halnya aku memiliki sayang
yang damai.
Aku masih menantimu untuk bertanding,
tetapi kamu tak kunjung berganti pakaian. Belum lagi selama tiga puluh menit,
aku hanya mengabadikan momen kamu dan kertas. Kamu sibuk dengan tulis menulis
hal yang tidak aku pernah pahami. Terlalu sibuk sampai kamu tidak sadar ada aku
yang membersamaimu dari sini.
Lama menit berlalu, tak kuketahui
sosokmu hilang. Kosmos yang agung mengambilmu dariku. Aku masih tetap
mencarimu, tetapi kosong yang kutemui. Mungkin aku harus menyerah dan
melanjutkan kembali rajutan teka-teki hidupku yang kutinggalkan di pinggiran
harap.
Bersama kedua temanku, kami menuju
sebuah kewajiban. Kewajiban menjelang akhir masa perkuliahan. Padahal, inginku
adalah mendampingimu di setiap dekap-dekapmu bertanding. Dan, kamu tahu akhirnya
kosmos yang agung mengiyakan inginku. Aku menjemputmu di ruang dan waktu atas
persetujuan yang maha. Katamu, timmu akan bertanding tak lama lagi. Segera, aku
menyelesaikan kewajibanku sebagai manusia yang patuh.
Sekitar jeda dua puluh menit, aku
kembali—kepadamu. Kamu sudah berbalut pakaian kebanggaanmu. Kali ini pakaian
kebanggaanmu berwarna kuning terang lengkap dengan rinai senyum tanda menang.
Setiap detik berlalu, aku menikmati pergerakan timmu. Meskipun tidak ada
satupun gerakan yang aku pahami, setidaknya aku bisa mengakui bahwa timmu
memang hebat. Pun kamu yang menyiratkan damai dengan hanya berdiam diri menjaga
kotak berjaring milikmu.
Jelang akhir pertandingan, aku
berinisiatif untuk memberimu sedikit penghilang dahaga; teh berperisa jasmin.
Tak lengkap rasanya bila tidak diselipi dengan surat kecil berpenakan gelora
dan semangat. Kalimat-kalimat semangat berkelibat di dalam imajinasiku tanpa
aku bisa milih salah satu di antara mereka. Akhirnya, “you just did great” menjadi pelabuhan akhirku padamu.
Bagaimana caranya agar teh ini sampai
di pelupukmu adalah soalku selanjutnya. Aku memilih untuk menggunakan perangai
panitia pertandingan. Ternyata, aku cukup berani menghampiri panitia
pertandingan dengan gugup yang gemuruh, dengan harap yang semilir. Frase-frase
apa yang harus aku katakan menjadi perihal kesekian kalinya. Hingga, berikan pada yang berbaju kuning dan
berparas sejuk, terpilih. Sekarang, tugasku untuk membersamaimu melalui teh
jasmin sudah selesai.
Apakah aku terlalu lamban atau kosmos
yang agung menyembunyikanmu—sekali lagi—aku tak paham. Kamu telah berlalu
seperti debur ombak yang menghilangkan debar pusaraku. Tak sempat aku melihat
paras dan kantung matamu selagi teh jasmin bernaung di tanganmu. Tetapi,
setidaknya, aku tahu tawamu kembali meraung-raung yang menandai bahwa kamu
cukup berkenan menyambut hangatku. Pun, kamu dan timmu yang peroleh kemenangan
yang sudah kuduga.
Soal menyoal teh jasmin telah aku
rampungkan dan berniat pulang seraya menyangsikan kehadiran yang fana. Tetapi,
hadirlah kamu dalam balutan sendu. Aku menerka-nerka ke mana gerangan timmu,
mengapa kamu terpatut sunyi, dan mengapa-mengapa lainnya dengan kamu sebagai subjeknya.
Padahal, yang aku pahami, kamu selalu menggenggam tawa dan melepas bimbang
bersama anak manusia lainnya, sedang aku setia berkawan hampa.
Sekarang aku tidak berniat pulang,
hanya ingin memahami kamu dan semesta sendu. Relung-relungku ingin
menghantarkan senyum kepadamu supaya lepaslah gundah gulanamu. Sayangnya, aku
tak mampu. Kamu bersama sendumu terlalu kuat, seakan tak ingin berpisah barang
sejenak. Akhirnya, tak tahan aku menyaksikanmu dikungkung sendu. Rasa-rasanya
aku ingin menyeretmu ke dalam ruang bahagia bersama tawa dan mesra.
Di tengah rasaku yang gemas, aku
mendapati kemasan teh jasminmu yang telah tandas. Tetiba aku teringat ada
selipan suratku untukmu. Apakah kamu telah membacanya atau belum, kembali berwujud
teka-teki. Terbesit rasa kecewa mendapati surat itu masih setia bertengger di
sana, bukan di pelupukmu. Mungkin kamu terlalu lelah sampai tidak sadar bahwa
masih ada yang milikmu—aku mencoba berada di titik positif paling tinggi.
Aku mendekapnya kembali, siapa tahu
suatu hari kelak aku bisa melakukan hal serupa. Tidak lama lagi matahari akan
bergilir peran dengan purnama. Aku harus segera menepi rumah. Pun kamu yang
telah hilang bersamaan panggilan doa-doa Tuhan.
Akhir yang Seperti Ini
Aku sudah merancang skenario yang
seperti ini. Tetapi, adegan kamu yang sendu tidaklah hadir dalam skenarioku. Seharusnya,
kamu bersama timmu bercanda riang melepas ikatan penat. Dan, sewajarnya,
hanyalah aku yang menyelami riak-riak sunyi.
Manusia di sekeliling kamu memang
menyatukan baris riang, jejak rindu, dan hampa yang lepas, sedang kamu tidak. Mungkin
kamu mampu meniru tawa mereka, senyum mereka. Tetapi, yang konkret adalah keseluruhan
kamu membutuhkan jiwa penyatu serpihan pedih agar menjadi kasih yang kukuh.
Begitulah, kamu adalah semesta yang redup
dan atmosfer yang hampa. Dan, aku hidup di setiap derap langkahmu ketika senja
berlabuh. Maka, jangan salahkan aku ketika sunyi mengukungmu dan aku siap
membawamu pada welas penuh kasih.
dirajut penuh hangat dan harap untuk
seseorang berparas sejuk
Comments
Post a Comment