Menjumpa Tuhan dan Bertemu Kamu
Menjumpa Tuhan, Bertemu Kamu
Tuhan
ada di setiap kata yang manusia selipkan sebelum mengakhiri hari. Tuhan pun ada
pada detak-detak jantung yang bernaung di dalam jiwa manusia. Tuhan juga ada
dalam sekotak harapan manusia yang tiapnya mengiba kasih dan bayang sentuhan.
Begitu pula aku.
Ya,
aku.
Ketika
awal-awalnya waktu, ketika senyum-senyum seringkali seringan bayu, ketika renjana
menanti untuk dituai, tiba-tiba kamu yang melangkah pasti menghampiriku. Rinai-rinai
sumringah wajahmu adalah hal pertama yang selalu aku ingat sampai saat ini.
Kita, kemudian, dituntun untuk bertukar sapa dan bersentuh tawa. Kamu bilang
kamu hendak mengurusi tetek bengek berkas kuliah, aku hanya tersenyum tanpa
arti. Dedaunan kering itu akhirnya menghapus bau tubuhmu yang seperti semi.
Semoga kita bisa saling menyambut pandang, lagi.
Waktu-waktu
berikutnya kita terus dipertemukan oleh senja-senja tiada akhir. Kamu tahu
bahwa senja tiada akhir adalah rajutan tangan Tuhan yang menyuburkan harapan.
Senja-senja ini disusun-Nya untuk dijadikan rentetan pertemuan kamu dan aku. Aku
menyebutnya sebagai takdir. Tuhan selalu menempatkan takdir kita melalui pengeras
suara di puncak bulan bintang tersebut.
Beberapa
bulan setelahnya, aku menjemput kamu dan kamu menggenggam aku di sudut rumah
Tuhan. Kita masih sama-sama polos dan lugu sehingga sama-sama tidak mengenali
satu sama lain. Keheningan menyatukan kita sampai akhirnya kamu menguraikan
sederet namaku yang singkat diselingi tawa hangatmu. Aku menerimanya dengan
tawa yang singkat pula. Aku ingat, waktu itu kamu membawa botol air
kesayanganmu dan hendak mengisinya kembali. Topik kesibukan dan euforia
perkuliahan masih menjadi hal yang menarik saat itu dan ampuh untuk
memperpanjang masa perjumpaan kita.
Aku harap
kita masih bisa bertatap tawa seperti tadi.
Pertemuan
kita kembali menjadi sebuah keteraturan. Seperti sistem yang diketahui kapan
akan digunakan dan dimanfaatkan, layaknya pola yang bisa ditebak bentuk dan seluk
beluknya. Setiap aku akan menjumpa Tuhan, kamu akan pula aku temui. Pada
lingkaran-lingkaran takdir, di situ juga jejak kita menapak dan melukis memori.
Jejak yang dipenuhi kelelahan dan keinginan akan senang, jejak yang
mempertemukan bau tubuhmu yang semi dan punyaku yang gugur.
Sekali
waktu kamu pernah memintaku untuk bertemu pada terangnya hari. Deretan pesanmu
supaya aku cepat seringkali menakuti-nakuti bayangku. Jangan-jangan kamu lelah
menantiku. Jangan-jangan temanmu menyuruhmu pergi. Jangan-jangan aku terlalu
lamban. Atau jangan-jangan yang lain berhubung hari itu adalah hari sebelum
Sabtu. Ketika akhirnya deru napasku berkejaran dan bulir-bulir keringat
bersaingan turun, kamu hanya menyerahkan secarik kertas bernamakan aku.
Aku
menerima sekaligus memberimu sebungkus permen rasa susu cokelat yang aku sukai.
Terasa ragu ketika hanya berterima kasih dengan sebungkus permen dan selembar
kertas hijau lusuh. Terlalu malu mungkin adalah akar keragu-raguanku. Toh,
akhirnya aku berhasil menyelipkan mereka ke dalam dekapan tangan kokohmu. Binar
mata itulah yang aku tunggu dan berhasil aku rekam di dalam lensa otakku.
Kemudian kamu berpamitan untuk segera menjumpa Tuhan.
Semoga
selanjutnya aku masih bisa mendekap binar matamu.
Kembali,
aku menemukanmu. Kamu tampak sangat hangat sama seperti naungan matahari di
senja pada hari yang sama. Bersinar bersama berkeping-keping air selepas
menjumpa Tuhan. Inginku saat itu adalah menghampirimu dengan selebar-lebarnya
tawa. Kemudian, tanpa mengizinkanku untuk berangan lebih jauh, kamu menawarkan
sebuah rumah bernama senyum. Pulang
bareng, yuk. Itu adalah rumah sederhana dengan kamu yang ramah. Sayang
sekali saat itu aku enggan berteduh di dalamnya.
Andaikan
kamu tahu, senyum kamu teduh, rapuh, serta rumah.
Pada
bulan-bulan selanjutnya kita jarang dipertemukan. Entah salah siapa. Entah
karena apa. Entah sebabnya bagaimana. Namun, yang pasti, pertemuan kita seperti
pola. Teratur. Tertata. Dan, salah satu bentuk keteraturan tersebut adalah
alarm riuh rendah di lapangan kecil. Riuh rendah itu juga diberkati dengan
kekuatan magis semesta akan lapisan-lapisan sinar matahari yang sejuk dan
meneduhkan.
Hari
itu, untuk pertama kalinya, aku mendapati sosokmu semakin mengecil dikungkung
pakaian kebanggaanmu. Dari pojokan di pilar rapuh ini, aku hanya berani
menikmati pertunjukan kecilmu. Pendar-pendar matamu mengikuti arah benda bundar
itu. Senyummu bertuan ketika timmu berhasil menggenggam angka—samar-samar.
Sampai saat ini pun aku masih berharap bisa melihatmu kembali di kotak
bertemali itu.
Untuk
kedua kalinya, mungkin juga bukan, aku mengenali baumu yang semi. Dalam rentang
yang sepersekian meter, kamu bersorai-sorai rendah, sedang aku hanyut dalam
atmosfer ketertawaanmu. Tapi, tunggu dulu, mengapa kamu terlihat begitu sendu
di saat kamu tertangkap rindu?
Kamu rindu
menjejakkan bayang pada almamater kebanggaanmu, bukan?
Tuhan
selalu adil—kamu tahu itu. Di saat Tuhan menjelma semesta kebahagiaan, Tuhan
pula akan menghamparkan aroma ketidakbahagiaan. Supaya aku sabar dan ikhlas,
kata-Nya dan katamu juga. Pada saat itulah embel-embel kamu dan perihalmu tidak
pernah sekalipun bertandang padaku dan sekitaranku. Hidup juga harus tetap pada
jalurnya bahkan tanpa riuh rendah itu.
Bahkan
ketika pucuk-pucuk hujan bersandar pada lembayung yang sinar, ketika separuh
air kamu bawa dalam sepatu, serat takdir dipertautkan pada ujungnya. Aku tengah
membuat simpul pada temali dan kamu pula menguraikan milikmu. Kamu bersiap
menyambut-Nya, sedang aku telah selesai dengan urusan doa-doa Tuhan. Dari
sekian banyak bau tubuh manusia selepas mendekap Tuhan di hatinya—hujan, mekar,
sunyi, hanyut—aku tetap bisa melihat baumu yang semi. Lalu, kita menjelma
pasrah dalam suara-suara manusia itu.
Nyatanya kamu tetap semi di tengah hangat yang lembab.
Hari
itu adalah hari ulang tahunmu. Hadiah kesukaanmu sudah aku siapkan jauh-jauh
hari lengkap dengan penganan sederhana. Keesokannya kita membuat kesepakatan di
atas kertas angan bernama pertemuan. Sayangnya sembilan puluh menit berlalu
seperti semilir angin tanpa terlaksana. Harap-harap cemas, nyatanya kamu telah
menunggu di tempat kita akan bersapa setelah sekian lama.
Dalam
beberapa menit pertama, kita terlihat canggung—lebih tepatnya aku. Segelintir
orang memperhatikan kecanggungan kita dalam derap langkah mereka. Wajar saja
karena kita bertemu di anak tangga pada simpangan pertama. Perlahan, kamu
memecah kecanggungan dengan tonggak keberanianmu itu. Aku mengikuti permainanmu
sampai akhir. Guratan tanganmu masih sama dan lekukan kantung mata itu enggan
melepas genggam.
Harum
kantung kertas coklat berisikan hadiahmu dan penganan kecil seolah tenggelam
dalam sebersit frase terima kasih dan hamparan tawamu. Waktu, selalu saja,
berkemas ketika kamu menuntunku pada dimensi keterbatasan. Ingin rasanya aku
memperlenggang dimensi itu agar berkenan barang sebentar saja. Namun, apa boleh
buat kamu mendamba ketersudahan. Aku kembali pada kesibukan yang terukir dalam
harap pertemuan-pertemuan wajar berikutnya.
Andaikan
perbincangan kita bisa terpatri lebih lama.
Pertemuan-pertemuan
kita sedikit-banyak menyiratkan Tuhan pada setiapnya. Secara langsung maupun
tidak, itulah takdir. Ada saatnya aku berhasrat temu akan kamu, tetapi Tuhan
menyuruhku untuk menunggu. Barulah ketika aku menjumpa Tuhan dalam kotak-kotak
doa, kamu muncul bersama semimu. Kali ini, kamu mengikutsertakan hangat dan
rindumu.
Kiranya
berjarak enam bulan takdir tengah malu menampakkan dirinya. Dan, satu senja
pada tahun yang baru, riung-riung yang cakap memunculkan kamu. Takdir mengikat
pita suaraku agar hidup lagi seiring hampa, kosong, dan pengap yang menyamar. Aku
masih ingat bising kota dan suara manusia itu menyembunyikan sesosok mungil
yang indah di dekapmu—satu lagi di genggammu.
Seketika
manusia di sekitar mengecil dan tinggallah lingkaran basa-basi kita. Kamu,
seperti biasa, membagikan selembaran perihal kamu dan keluargmu. Makhluk mungil
itu adalah saudaramu dan yang bermata dalam bingkai juga saudaramu. Aku,
seperti biasa pula, mengikuti permainanmu dan terdampar pada dimensi lain. Kertersudahan
ini pun kamu yang rajut dan aku tinggal menyelesaikannya. Dan, aku sadar ini
bersamaan dengan Tuhan yang menyeru-nyeru untuk dijumpai.
Sekarang,
sudahkah kamu percaya ketika aku menjumpai Tuhan dengan berlapis-lapis pujian
dan doa di situ pula kita bertemu dalam canggung yang lepas?
—malam keempat belas bulan kedua
Comments
Post a Comment