Kita dan Mimpi di Kota Depok
Suatu Waktu Itu
Pertama-tama aku ingin mengatakan
bahwa penyair Joko Pinurbo pernah menulis sebuah ungkapan dalam salah satu
cerpennya yang berjudul Jalan Asu yang berbunyi :
Hari
ini adalah hari Rindu. Hari untuk pulang. Hari untuk bertemu (Cerpen Pilihan
Kompas 2014, 2016:141).
Dan, kamu adalah orang yang tepat
buat menerima ungkapan itu J Di hari yang rindu ini aku juga
ingin mengukir sesuatu. Teruntuk kamu yang selalu semangat dan sabar dalam
menikmati hidup yang diselimuti kerinduan sekaligus kerenjanaan.
Dulu sekali ketika awan masih
mendekap benih hujan dan dedaunan tetap berumah tanah, kamu masih polos dan
sangsi. Masih tidak bisa membedakan mana tujuan hidupmu dan mana jalan hidupmu.
Terombang-ambing oleh rujukan kawan sepermainan atau tawaran cinta lawan jenis.
Dalam guratan tangan Tuhan yang seperti itu, aku menjemput kamu.
Aku menjemput kamu artinya aku akan
memulai petualangan dalam memberikanmu satu pilihan hidup dengan satu konsep
impian. Impian yang kamu umbar-umbar ke setiap hening napas tiap manusia di
sekolah kita. Pun aku yang selalu menjadi pendengar detail mimpi kamu akan
perjalanan di luar batas yang kamu yakini betul akan mendekapmu—dan aku yang
tidak mau kalah darimu.
Kamu berisik sekali waktu itu.
Mengirimiku debar-debar pesan, padahal jika kamu mau sabar, kita akan saling
menggapai. Kamu berdiri sendirian di persimpangan jalan sambil berharap aku
akan segera datang agar ketidakpastian yang kamu ciptakan ini berakhir. Bukan
begitu, bukan? Padahal, aku beri tahu ya, di samping kamu sebenarnya juga telah
menunggu guide atau pendamping kita
dalam perjalanan terpanjang yang pernah kita lalu berdua bersama waktu dan
ruang.
Aku telah mengambil tanggung jawab
atas pendamping kita supaya kisah ini tetap terus tumbuh. ‘Kan seperti yang
sudah aku jelaskan bahwa aku di-garistuhan-kan untuk menyambutmu dengan segala
suka serta dukanya. Dalam cerita kita, pendamping ini aku sebut sebagai si
penengah. Karena, tanpa ada si penengah aku tidak mungkin mengabadikan kisah
satu hari yang masih aku ingat ini.
Langsung saja aku memperkenalkan
kamu kepada penengah. Kamu, seperti biasa, selalu menawarkan untaian senyum
tanda hangat dari lubukmu. Ayo, cepat,
ini sudah terlalu siang. Begitu kalimat pertama yang aku dengar dari
penengah ketika bising kota baru saja menampakkan batang hidungnya. Kamu pasti
bisa merasakan keringatku yang baru muncul kemudian sembunyi lalu muncul
kembali.
Bis kota reyot waktu itu menyimpan
jejak aroma kepenasaran tubuh kita. Si penengah sibuk dengan ponselnya sambil
sesekali menanyakan perihal aku dan kamu. Aku hanya sekenanya, tetapi kamu, ya
kamu, memang kamu. Kamu adalah orang yang menyajikan hangat untuknya,
mengakrabi dirimu dan dirinya dengan beragam topik klise yang malas aku
tanggapi. Lepas dari itu, senyum yang selalu kamu pampang adalah hal yang waktu
itu aku abaikan dan sekarang sedang aku usahakan agar selalu dikenang.
Akhirnya, kita sampai di Kota
Depok, tepatnya di sebuah tempat yang terkenal akan beragam prestise dan
kehebatan tiada tandingnya. Acara yang akan kita sandingi ini adalah jejak awal
dalam menggapai mimpi di luar batas kita. Si penengah mulai mencari sana-sini
mana rute yang harus kita lewati dan kita, seperti biasa, hanya mengagumi
tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya.
Ke manapun aku pergi, aku selalu
membawa saputangan merah marun. Pun hari itu. Sayangnya, saputangan itu harus
berakhir ketika kita menikmati semilir angin sore di bawah rindangnya hijau
saat kita rehat sejenak. Dan aku tidak akan mungkin menghapus kenangan akan
kamu yang mengejekku yang teledor telah menghilangkannya. Ejekan yang
menyadarkanku bahwa kebodohan bisa muncul begitu saja kapanpun dikehendaki.
Riuh rendah manusia itu menandakan
bahwa kita telah sampai. Kita diminta untuk menuju aula dengan masing-masing
grup yang telah ditentukan. Aku, kamu, dan penengah terpisah. Setiap grup harus
menampilkan satu penampilan yang tentunya harus bagus dan berkesan. Tentu,
dalam kasus ini aku menyerah dan tidak mau ikut campur. Pura-pura menjadi tidak
tahu terkadang menyenangkan, memang?
Namun, kamu bukan seperti itu.
Ketika satu grup dipanggil, aku melihat sosok kamu. Sebenarnya, tanpa melihat
wajahmu, aku bisa mengenali kamu hanya dari seluk beluk tubuh dan pakaianmu.
Kamu, dengan optimis, melipir ke depan untuk menunjukkan eksistensimu. Dari
sini, aku simpulkan bahwa kamu pemberani. Gema sorai dan tepuk tangan mengisyaratkan
bahwa penampilanmu telah berakhir dengan sukses. Aku turut bangga padamu,
keberanianmu, kemauanmu—yang kelak akan menginspirasiku. Kalau kamu perlu
bukti, aku masih menyimpan hasil potret ini. Sekarang, kamu masih seberani dan
seoptimis itu, bukan?
Sebagai kenang-kenangan, kita
berfoto bersama dahulu. Selain foto, adakah bukti lain yang memang mumpuni dalam
menyerta hidup kita yang diselingi oleh tawa dan gusar pada masa remaja? Kamu
berpose tawa dengan rajutan-rajutan gigi, sedangkan aku hanya mampu tersenyum
kaku dan klasik. Tawa itu menandakan bahwa kamu siap untuk melepas segala hal
yang membuatmu terkukung dan senyum ini mengguratkan resah yang terselubung di
dalam batin.
Menuju pulang, akhirnya penengah
menyuruh kita untuk pulang terlebih dahulu karena ia masih ada hal lain. Kita
hanya mengangguk-angguk, padahal tidak tahu rute kembali. Menyusuri jalan
lenggang lengkap dengan dekapan langit sore dan jari-jemari kayu itu membuatku
terkenang akan diriku yang sekarang. Bedanya, tempat kita berdua ini tidak
digenangi oleh rasa penasaranku akan kamu. Aku masih belum dikirimi
ketergugahan yang saat ini sedang aku tampung dalam kotak bernama kenang.
Dalam diam kita menyelesaikan
perjalanan di jalan lenggang ini. Kita sibuk dengan pikiran yang luang dan
lapang tentang apa saja. Sampai akhirnya, sebelum kita benar-benar meninggalkan
jejak dari tempat ini, aku berinisiatif untuk mengambil potret. Aku. Kamu.
Waktu. Dan ruang. Potret itu juga masih menampakkan kamu yang tertawa dan aku
yang tersenyum dengan latar belakang plang nama tempat itu.
Sepanjang sore itu, dihabiskan
waktu menunggu bis yang akan memulangkan kita. Bulir harapan itu hampis pupus
ketika tiga puluh menit telah kita lahap dengan menghasilkan nihil. Bis tidak
kunjung muncul dan seingatku karena itulah kita bercakap ria dan mesra. Maafkan
aku karena aku tidak ingat apa hal yang kita bicarakan. Terkadang pula, hanya
debaran napas yang mampu kudengar ketika suara tidak lagi bersambut.
Aku bisa merasakan kegembiraan
bukan main yang kamu lontarkan sewaktu bis reyot perlahan muncul. Kamu berdiri
di sampingku sambil bercerita lagi, melanjutkan yang tadi berlum tersampaikan.
Aku hanya bisa menimpali barang satu dua perihal yang hanya aku ketahui. Takkan
aku menanggapi hal yang tidak aku ketahui karena hal itu membuat aku semakin
bodoh di depanmu. Namun, bukankah terlihat bodoh di hadapanmu memang menjadi penyelamat
agar perbincangan kita tetap terarah? Sesekali juga dalam terang benderangnya
malam, aku bisa melihat dengan jelas setiap guratan wajahmu yang kokoh rajutan
tawamu yang resah.
Ketika hampir tiba saatnya aku dan
kamu berpisah, aku berusaha untuk terlihat gembira dan senang. Padahal asal
kamu tahu aku sudah lelah untuk mendengar setiap detail lika-liku hidup dan
mantan kekasih yang pernah kamu kencani yang aku tahu betul kamu masih
mengharapkannya. Tetapi, aku senang, setidaknya kamu cerewet meskipun topik
kamu adalah tentang dia dan dia.
Kamu bilang bahwa kamu dijemput dan
karena itulah kamu menunggu di halte itu, sendirian. Sementara, ada aku yang
pelan-pelan menuju rumah. Seketika aku merindukan kecerewetanmu setibanya di
rumah. Keesokan harinya, aku menyimpan foto kamu sore itu dengan namamu yang
tertera—dan mengirimkannya padamu.
Itulah satu-satunya perjalanan
panjang kita yang sampai saat aku menuliskannya, belum pernah tergantikan.
Bahkan, sampai sekarang pun aku berharap bisa melihat kembali guratan wajah dan
rajutan tawa yang kamu miliki itu. Semoga kamu tetap bersemangat dalam
menjalani hidup ini, ya. Ini semua demi mimpi kamu yang aku hapal benar
ceritanya, bukan? J
Comments
Post a Comment