Merajut Kamu dalam Jendela Pilu
Semua
orang mengetahui dengan jelas bahwa aku amat sangat menyukai buku. Pun kamu.
Namun, hanya satu-dua orang yang mampu berkata bahwa aku juga suka rumahnya. Aku
tidak menyangkal ataupun mengiyakannya, cukup senyum yang aku layangkan. Bahkan
setiap senyumku itu mampu menuai kesan mereka terhadap rumah ini. Hening,
katanya. Senyap, ucapnya. Nyaman, ungkapnya. Sayangnya mereka belum tahu
rahasia yang saat ini berusaha aku sajikan.
Kamu
tahu bahwa hal yang pertama-tama aku tunaikan ketika menjamahi rumah ini adalah
menjadikan loker nomor enam belas yang bertetangga pintu lantai satu sebagai riung
mata yang berhasrat temu atas kamu. Seusai lepas, aku akan mengabadikan jejak
langkahmu pada dekap-dekap tangga yang terketuk rasa—dengan ditemani secarik angan
akan bayanganmu yang membauiku dengan kantung matamu. Pada akhirnya, aku dan
kamu akan bersambut tangan serambi menyibak daun pintu kaca di lantai dua yang
merupa kita.
Kamu
tahu bahwa di lantai tiga ini aku semakin menggapaimu. Pada rak ketujuh dari
kanan di sayap kiri lantai ini yang kerap kali disunyikan oleh keriuhan. Aku
bisa menemukan sisa reresahan aroma buku yang hampir dimakan rayap itu yang
menyimpan parfum kebanggaanmu—wangi keringat sehabis bertanding. Setiap lipatan
kecil pada ujung kertas yang cokelat kekuning-kekuningan yang kamu buat bahkan
bisa mendapatkan sentuhanmu. Sentuhan lembut yang kasar selepas kamu memakai atribut
pertandingan. Segerombolan buku mana yang akan kamu baca atau mungkin hanya
singgah pada kedipan matamu; aku paham semua itu. Hanya buku yang ditulis oleh
pengarang favoritmu yang akan kamu pilih, bukan? Juga, tidak ada satupun bangku
yang akan menikmati hangatnya kekhusyukanmu saat menelanjangi kata-kata. Kamu
akan langsung melipir mendekap keterburu-buruan dan buku yang terpilih itu.
Kamu
tahu bahwa saat ini aku bersemayam di sudut ruang yang dingin tanpa
kehadiranmu. Aku selalu duduk di bagian rak yang tidak pernah kamu singgahi. Di
samping kiri, aku bisa memotret kesengsaraan dan kesenduan gedung kembar rumah kedua
kita. Di samping kanan, aku meresapi kerinduan dan keputusasaan buku-buku yang
jarang dibuka ini. Sepengelihatan hatiku, genangan suara dan bau manusia di
ruang yang mendekap satu jiwa ini merayap sepi yang mencoba lepas bebas. Namun,
sayangnya saat ini kamu tidak memiliki hasrat secuil angin pun untuk
membebaskan mereka dari belenggu jiwa—dan merasakan desir-desir aku di sudut
ini.
Kamu
tahu bahwa aku belum menceritakan satu hal kepadamu yang ada di sudut yang kamu
abaikan ini. Perihal rahasia kotak kaca tembus pandang yang setia bertahan pada
sisi kiriku, belum pernah aku sebarkan pada siapapun, kecuali kamu. Kotak kaca
tembus pandang ini buram karena ia mengandung segala rahasia, sumpah serapah,
kepahitan, dan keputusasaan manusia di sini, termasuk aku. Kotak kaca yang
tembus pandang ini dinamakan jendela—ruang pertama bagi surya pagi untuk
menjemput pujaan hatinya. Begitu pula bagi aku, yang membutuhkan jendela supaya
aku mampu merajut abstrak-abstrak renjana beristilahkan kamu. Bagiku, renjana
yang kamu adalah keterlepasan hasrat akan aku yang mengasakan kantung matamu
lewat jendela pilu ini.
Kamu
tahu bahwa kamu tidak paham mengenai apa yang secara sadar aku katakan dengan
nyata. Jelasnya, yang harus aku terangkan padamu adalah bahwa jendela pilu itu telah
dengan setia dan patuh membantuku untuk menenun benang-benang ragamu yang
berbulir keringat di bawah sana. Bayanganmu seketika rupa menaungi kantung mata
yang menjelma tapak-tapak tawa yang kuterjemahkan sebagai keberhasilanmu. Pada
akhirnya, renjanaku telah menggapaimu.
Sekarang,
kamu tahu aku dan rahasiaku untuk mengagumi rumah buku, bukan? Nyatanya,
merajutmu dalam hasrat-hasrat renjana memang menunjukkan kepadaku makna
kesunyian dalam jendela pilu pada sudut ruang di rumah buku yang kamu ini.
- diukir dalam kesederhanaan
kagum
tiap detik tegapmu pada menyambut lelap
Comments
Post a Comment