Imajinasi sebagai Sebuah “Healing” dalam Novel A Little Princess (1905)

Review Novel A Little Princess
Karya Frances Hodgson Burnett



Mungkin sebagian besar orang akan berpikir bahwa novel ini adalah novel anak-anak. Ya, mungkin saja. Sampul depannya menggambarkan sesosok perempuan kecil yang berpenampilan mewah layaknya putri raja memang meyakinkan setiap orang bahwa ini adalah novel anak. Namun, bagiku novel ini bukan hanya untuk anak-anak, tetapi juga untuk orang dewasa.

Novel ini berjudul yang merupakan novel karya pengarang Perancis terkenal, Frances Burnett. Alasan aku memilih novel ini bukan lain adalah karena ketidaksengajaan aku melihat sampulnya yang bergaya kuno dan highclass—menurutku—dan berwarna cokelat lembut. Dan, belakangan aku tahu bahwa ini adalah novel klasik.

Sekilas tentang A Little Princess
Cerita ini diawali dari seorang putri raja dari India yang bernama Sara Crewe yang disekolahkan di sebuah asrama perempuan di Inggris. Karakternya yang baik, manis, sopan, dan pintar ini pun mengundang banyak anak ingin berteman dengannya bahkan ada pula yang merasa iri. Dua teman dekatnya ialah Berthy dan Emengarde. Berty merupakan seorang budak. Miss Michin, Jessie, dan Lavinia adalah sosok yang membenci Sara atas segala yang ia lakukan. Sara dikenal sebagai anak yang seringkali mengisi hari-hari dengan segala imajinasi.

Selepas ayahnya meninggal, Sara diperlakukan sebagai seorang budak seperti Berty karena ia tidak diberi warisan apa-apa. Padahal sebelumnya, ia mendapat kabar bahwa ayahnya sedang berbisnis berlian dengan rekan lamanya. Dalam keterpurukan ini, Sara tetap tegar dan rela menerima kenyataan. Imajinasinyalah yang mampu mempertahankan hidupnya.

Suatu hari, tetangga baru dari India tinggal di sebelah asrama Miss Michin. Tanpa Sara ketahui, tetangga barunya, Tuan Carrisford, adalah rekan lama ayah Sara yang sedang mencarinya. Ia merasa bersalah karena membiarkan Sara menjadi anak yatim piatu tanpa diberi warisan sedikitpun. Dibantu oleh pengacara dan anak buahnya, akhirnya Sara mengetahui hal itu. Tuan Carrisford juga tahu bahwa anak rekannya itu diperlakukan tidak adil oleh Miss Michin. Akhirnya, Sara hidup dalam kasih sayang Tuan Carrisford.

Ruang Imajinasi Sara
Tokoh utama di atas yaitu Sara, memenuhi hidupnya dengan imajinasi. Saat bahagia ia berimajinasi, dalam keterpurukan ia masih bermajinasi, dan akan selalu berimajasi. Diceritakanlah bahwa Sara masih berumur sekitaran tujuh tahun sampai 12 tahunan. Dalam usia seperti itu, pantas saja jika otaknya masih dipenuhi oleh beragam imajinasi yang aneh-aneh dan bahkan di luar kepala.

Sara beranggapan bahwa imajinasi adalah sesuatu yang penting bagi kehidupannya. Apalagi pada saat penderitaan mendatanginya bertubi-tubi, mulai dari ayahnya meninggal, tidak diperbolehkan untuk mengikuti pelajaran, bekerja tanpa mengenal waktu, tidak diberi makan yang sesuai, dan yang terparah adalah bertempat tinggal di loteng asrama yang sangat sempit dan kotor. Namun, Sara masih bisa menerima semua itu. Imajinasilah yang mendorong Sara untuk melewatinya.

Sara menganggap loteng yang menjadi rumahnya itu sebuah istananya sendiri. Ia juga mengatakan bahwa boneka itu sebenarnya bisa berbicara saat tidak ada satupun manusia yang memperhatikannya. Ia pun selalu merasa bahwa dirinya “masih” merupakan putri raja selepas ayahnya meninggal. Tokoh-tokoh lain malah merasa bahwa Sara “aneh”. Begitulah.
Bayangkan saja apabila Sara tidak mengimajinasikan dirinya sebagai putri raja yang tinggal di sebuah istana, apakah ia mampu bertahan hidup di sebuah loteng rumah yang kotor, sempit, penuh tikus, dan pengap udara? Tentunya ia tidak akan kuat jika ia benar-benar menerima kenyataan pahit itu sebagai kehidupan barunya. Mungkin saja Sara akan merasa stres dan melakukan hal yang tidak-tidak—bisa aja.

Bayangkan saja jika Sara tidak mengimajinasikan sosok Melkisedek—tikus di lotengnya dan burung-burung di dekat lotengnya sebagai teman-temannya, akan bagaimanakah hidupnya yang sengsara itu?

Aku yang Berimajinasi?
Imajinasi bagi sebagian orang tidaklah penting terlebih lagi bagi orang dewasa. Mereka menganggap bahwa imajinasi hanya mengangan-angankan sesuatu yang aneh, di luar batas, dan tidak bisa diwujudkan. Padahal, nyatanya imajinasi itu penting. Seperti yang dikatakan oleh Sara, ia bisa bertahan hidup dalam keterpurukan karena imajinasinya itu.

Bagiku, imajinasi juga merupakan aspek dalam kehidupan yang mengambiil jatah lumayan banyak dalam keseharianku. Biasanya aku akan berimajinasi terhadap apapun yang ada di sekitaranku. Saat sedang depresi pun aku juga sering beimajinasikan hal-hal yang terbilang aneh. Karena, seperti kata Sara, imajinasi itu penting. Sangat penting.

Aku selalu menjadikan kegiatan berimajinasi sebagai sebuah pelarian dari kepenatan menjalani hidup. Hehe. Imajinasi juga bagi aku bisa mendorong semangatku untuk lebih maju dan menjadi kreatif serta produktif. Misalnya imajinasiku akan sebuah keinginan untuk mengunjungi tempat indah yang ada di dalam novel Pride and Prejudice. Bukan main keindahannya. Nah, imanjinasi tersebut bisa saja menjadi kenyataan bila aku berpacu dalam belajar. Yang terpenting adalah imajinasi tersebut bisa menjadi penyokong kehidupanku yang lebih baik nantinya.

Inilah pengaruh imajinasi bagi aku, kamu?

Jangan lupa untuk membacanya ya. Ohiya, novel ini juga sudah diadaptasi menjadi film di tahun 1995 dengan Camille Prats sebagai tokoh Sara Crewe. Selamat membaca dan menonton! J

Comments

Popular Posts