Aku dan Cerpen Kompas 2014
SEPUTAR BUKU CERPEN
PILIHAN KOMPAS 2014
Halo, semuanya.
Kali ini aku kembali dengan tulisan tentang cerpen Kompas tahun 2014 yang baru beberapa hari lalu dibaca. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan sehubungan dengan judul artikelku ini.
Kali ini aku kembali dengan tulisan tentang cerpen Kompas tahun 2014 yang baru beberapa hari lalu dibaca. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan sehubungan dengan judul artikelku ini.
Pertama, jujur saja aku suka banget sama sampulnya.
Karena apa? Sampul depannya benar-benar keren. Artistik. Memukau. Komposisi
warna dan gambar animasinya juga aku suka banget. Warnanya juga cocok di mata
soalnya warnanya hijau kalem, adem gitu. Kedua, dari segi isinya, buku kumpulan
cerpen memuat lebih banyak cerpen dari sebelumnya. Setelah aku hitung, ada 24
cerpen di dalamnya. Ketiga, epilog buku ini ditulis oleh dosen Filsafat
Universitas Indonesia. Wow, aku harus membaca epilog ini lebih dari sekali. Benar-benar
wow. Kalian tahu kan bagaimana seseorang yang bergelut di bidang Filsafat,
apalagi dosen, saat menulis sebuah tulisan?
Juri dalam buku ini adalah Frans Sartono, Hariadi
Saptono, Myrna Ratna, Putu Fajar Arcana, dan Efix Mulyadi. Menurut Saras Dewi,
penulis epilog, tema dalam kedua puluh empat cerpen ini terbagi ke dalam lima
tema besar, yaitu tentang tradisi lokal bersanding dengan kemajuan zaman; peran
perempuan dalam ke-patriarki-an; fakta sejarah yang belum banyak diketahui;
penyimbolan dalam hidup sehari-hari; dan hal tentang magis yang masih tabu.
Berikut adalah sekilas tentang kedua puluh empat
cerpen tersebut.
Di Tubuh Tarra,
dalam Rahim Pohon karya Faisal Oddang
Setelah beberapa kali membaca cerpen karya Faisal,
cerpen-cerpen beliau selalu bernapaskan tradisi Sulawesi yang sangat kental.
Juga cerpen yang satu ini. Dikisahkan, dua bayi yang sudah mati
berbincang-bincang mengenai kehidupan sekitarnya melalui rumahnya, yaitu sebuah
pohon bernama Tarra. Pohon Tarra ini diibaratkan sebagai ibu alam pemberi
kehidupan manusia yang bisa murka ketika “bagian dirinya” dirusak manusia itu
sendiri.
Harimau Belang
karya Guntur Alam
Cerpen ini juga masih berkaitan erat dengan tradisi
lokal. Ketika sebuah aturan sekaligus mitos dilanggar demi kebaikan banyak
orang, apakah akan tetap dijunjung tinggi meskipun bisa berakibar fatal bagi
orang tersayang? Apakah kalian percaya saat seorang suami meninggalkan istrinya
yang hamil tua untuk memburu harimau keramat—katanya—demi membalas dendam
karena sang harimau telah membunuh salah seorang anak kecil akan membawa petaka
bagi si istri itu? Di zaman sekarang, bagi kita hal itu mustahil, tetapi itulah
yang terjadi. Mitos itu benar-benar bekerja sesuai kodratnya.
Matinya Seorang
Demonstran karya Agus Noor
Cerpen ini menceritakan tentang jasa pahlawan sejati
yang terlupakan oleh takdir. Seseorang yang justru tidak melakukan apa-apa
malah dianggap sebagai pahlawan tersebut. Bagiku, cerita ini bagus banget
karena banyak dari kita tidak mengetahui fakta yang sebenarnya tentang sejarah.
Sudut pandang seorang perempuan yang ditinggal oleh pacar sekaligus pahlawannya
juga menjadi nilai tambah dari cerpen ini.
Lima Cerpen
Sapardi Djoko Damono karya Sapardi Djoko Damono
Cerpen-cerpen sederhana SDD dijadikan satu kumpulan
dalam sebuah judul. Secara keseluruhan, cerpen ini mengisahkan bagaimana
kematian manusia merupakan sebuah ujung dari perjalannya. Mereka tidak bisa
mengelak dan hanya bisa menyerahkan diri tanpa daya kepada Yang Kuasa. Awalnya,
aku susah banget untuk paham bagaimana jalan cerita dari lima cerpen beliau.
Dan, setelah baca dua kali, barulah aku mendapat pencerahan. Hehehe.
Bukit Cahaya
karya Yanusa Nugroho
Dari judulnya, aku tahu bahwa ini adalah sebuah
analogi. Bukit cahaya diibaratkan sebagai sebuah tempat yang tidak diyakini ada
oleh banyak orang, tetapi dipercaya oleh orang beriman. Bukit ini terdapat
banyak emas sehingga berkilauan dan tentu saja dalam kehidupan nyata, hal
semacam ini tidak ada. Secara umum, pokok cerita adalah perjalanan seseorang
yang penasaran akan bukit cahaya yang mana berujung pada pencarian jati diri
dan kepercayaan terhadap Tuhannya.
Darah Pembasuh
Luka karya Made Adnyana Ole
Cerpen yang satu ini juga menganalogikan sebuah
kenyataan miris. Sebuah luka borok “gaib” di lutut yang hanya bisa disembuhkan
dengan darah manusia. Sama halnya dengan yang ada di dalam cerita. Kenangan
akan pemberontakan di Bali yang terus menerus menyeruak ketika si tokoh kembali
mengenang kejadian tragis itu yang merenggut nyawa kakaknya.
Wanita dan
Semut-semut di Kepalanya karya Anggun Prameswari
Jujur, aku suka banget dengan judul yang dipilih
oleh Anggun. Judulnya juga gak kalah bagus dari cerita yang diuntainya. Kisah yang
sederhana sebenarnya, tetapi ditambahi bumbu yang membungkusnya menjadi cerita
yang tampil beda. Seorang istri yang hanya mengungkapkan perasaannya, justru
hal itu dianggap rumit dan tidak perlu dijelaskan oleh suaminya. Bukan hanya
oleh suaminya, tetapi dianggap aneh oleh masyarakat sekitar. Istilah
“semut-semut” diibaratkan sebagai kesepian dan kegalauannya karena hal tersebut
yang nantinya akan membunuhnya.
Arsip Aku di
Kedalaman Krisis karya Afrizal Malna
Sebelum membaca cerpen-cerpen ini, terlebih dahulu
aku membaca latar belakang pengarangnya. Afrizal pernah berkuliah jurusan
Filsafat. Dan hal ini berkaitan dengan cerita yang satu ini. Aku susah
menangkap hal apa yang ingin ia sampaikan lewat cerpen ini. Ceritanya hanya
berkutat pada keterpanaan tokoh akan salah satu turis yang sedang menyelam yang
ia tuangkan dalam sebuah kisah.
Dongeng New York
Miring untuk Aimee Roux karya Triyanto Triwikromo
Ini adalah cerpen yang bagiku sulit untuk dipahami
maksudnya meskipun kisahnya terbilang “tren” masa kini. Intinya adalah cinta
antara sesama jenis, yaitu antara Aimee dan Nicole, yang keduanya sama-sama
perempuan. Kisah ini berputar bagaimana keduanya menikmati kehidupan mereka
yang mungkin bagi sebagian orang terlarang, tapi bagi mereka adalah sebuah
anugerah. Mereka bahagia.
Jalan Sunyi Kota
Mati karya Radhar Panca Dahana
Aku juga sangat menjagokan cerpen ini karena kisah
yang diangkat merupakan kisah sehari-hari yang terkadang kita abaikan.
Diceritakan dari banyak sudut pandang manusia dengan latar belakang yang
berbeda, misalnya dari pekerja biasa, pengusaha, wanita karir, atau anak sekolah.
Mereka mengutarakan pemikirannya terhadap satu masalah perkotaan yang terjadi.
Ada yang hanya bicara saja, berdebat, hingga turun tangan mengatasinya.
Angela karya
Budi Darma
Tokoh Angela, menurutku, adalah tokoh yang sedikit
seperti psikopat. Tentang Angela yang kehidupannya dirundung duka, nasibnya
yang buruk, keluarganya yang tidak baik hingga ia bertemu dengan laki-laki yang
bisa berteman dengannya. Meskipun laki-laki merasa risih atas kelakuannya yang
sedikit “mengganggu”, ia memutuskan untuk meninggalkan Angela. Namun, Angela
tidak tinggal diam. Bagiku, cerita ini lumayan bikin greget hehe.
Neka karya Eep
Saefulloh Fatah
Tidak dipungkiri, aku juga mengidolakan cerpen ini.
Temanya tentang politik yang diselimuti oleh nuansa kekeluargaan. Berkisah tentang
pemberontakan di Timor Leste yang menarik perhatian salah satu sanak keluarga
yang ada di Jakarta untuk pulang dan bertemu ayahnya yang sakit. Niat baik itu
urung terlaksana karena justru ia mengalami pengalaman buruk, diperkosa.
Diceritakan dari sudut pandang sahabatnya melalui sebuah buku catatannya. Aku
suka karena fokus pengarang adalah bukan pemberontakan, tetapi pada perjuangan
anak untuk menemui keluarganya, tetapi nasib berkata lain.
Garong karya
Indra Tranggono
Jika percaya pada sesuatu selain Tuhan, hal itu
termasuk menyekutukan Tuhan. Hal itulah yang coba dijabarkan pengarang dalam
cerpennya yang satu ini. Seseorang bisa menjadi sukses dan kaya hanya karena
bola-bola api. Padahal secara logika, hal itu mustahil. Bola-bola api ini disimbolkan
sebagai suatu kecenderungan manusia zaman sekarang untuk lebih memilih “jalan
pintas” dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan. Secara instan dan cepat.
Tanpa proses.
Joyeux
Anniversaire karya Tenni Purwanti
Cerpen karya Tenni berfokus pada kasih tak sampai
seorang perempuan muda. Saking terpukulnya, ia pun menjadi kehilangan
kewarasannya. Aku menyukai cara berceritanya yang bukan hanya oleh sosok
perempuan muda ini, tetapi juga oleh laki-laki yang menyukai dirinya walau ia
tak waras. Tentang cinta yang bisa menguasai keseluruhan dari perempuan itu dan
cinta itulah yang “menyelimutinya” hingga tak berdaya dan kalah.
Kaing-Kaing
Anjing Terlilit Jaring karya Parakitri T. Simbolon
Kisah yang sederhana dan tak pernah dipikirkan
olehku, akan menjadi topik utama dari cerpen ini. Ya, aku suka banget sama
cerita yang satu ini. Pernahkah terpikirkan oleh kita, saat kita ingin
melakukan satu hal mudah, bukannya langsung mengerjakannya, tetapi malah
memikirkan hal lain yang mungkin saja tidak terlalu penting dan terbilang
sulit? Hal itulah yang berusaha disiratkan dalam cerpen ini. Kata jaring dianalogikan sebagai pemikiran
manusia yang rumit sehingga menyulitkan manusia itu dan terjebaklah ia di
dalamnya. Pengarang mengambil kisah seekor anjing yang terjebak di sebuah
gawang bola yang ingin diselamatkan oleh warga sekitar.
Pacar Pertama
karya Vika Wisnu
Apa jadinya jika seorang istri yang suaminya
meninggal malah menumbuhkan benih cinta pada sahabat anaknya sendiri? Kisah
yang lumayan unik dan berbeda ini disajikan oleh Vika. Yang menjadi poin utamanya
adalah pengarang mengambil sudut pandang seorang wanita. Ia hanya ingin hidup
tenang bersama “suaminya” tetapi dibuat gusar oleh pernyataan cinta sahabat
karib si anak yang telah tumbuh dewasa.
Menunda-nunda
Mati karya Gde Aryantha Soethama
Kali ini, cerpen Menunda-nunda Mati mengambil tema
lokal tentang mistik atau magis. Masih dari tradisi Bali. Perang antarjiwa
manusia yang terlelap yang sudah menjadi tradisi turun temurun. Semuanya
berjalan lancar hingga salah satu istri si petarung tidak rela jika suaminya
kalah. Membunuh lawan suaminya adalah jalan keluar yang dipilihnya. Ini adalah
cerita yang unik sekaligus menjadi “warna” tersendiri. Selain itu juga
dikisahkan secara mendetail bagaimana mereka memulai “pertarungan” jiwa
tersebut.
Jalan Asu karya
Joko Pinurbo
Seperti biasa, JokPin selalu mengisahkan ceritanya
dengan bumbu puisi. Cerpen ini juga memuat puisi beliau. Menceritakan tentang
perjuangan seorang ayah yang merupakan penyair dan berharap anak laki-lakinya
akan meneruskan bakatnya itu. Sampai-sampai, hanya untuk membayar makan, ia pun
membayarnya dengan syair. Menurutku, judul “Jalan Asu” dipilih JokPin sebagai
sebuah kenangan akan anak laki-laki tersebut kepada ayahnya yang telah tiada. Asu yang artinya merupakan umpatan,
dijadikan sebagai sebuah media pengingat ayahnya yang selalu mengucapkan kata
itu. Satu lagi, aku suka dengan cara JokPin menyiratkan pesannya melalui
beragam perumpamaan dan kata-kata yang puitis.
Ms. Watson karya
Des Alwi
Bagi tetangganya, Mr. Watson merupakan sosok nenek yang
misterius, asing, serta mengganggu. Semua orang menaruh hawa-hawa negatif pada
beliau. Sampai suatu ketika salah satu anak tetangganya itu menghilang dan
ternyata berada di rumah beliau. Sungguh, cerita ini mengandung pesan layaknya
ungkapan don’t judge book by its cover.
Intinya, sebenarnya ketika ada seseorang yang menurut kita berbeda, janganlah
dihindari, tetapi harus ditemani. Hehe. Akhir dari cerpen ini adalah Mr. Watson
dibawa ke rumah sakit, dan tetangga pun merasa ada yang hilang.
Beras Genggam
Gus TF Sakai
Cerpen ini benar-benar keren. Meskipun tema yang
dianggap mungkin biasa, yaitu tentang tradisi lokal, tetap saja kisah yang
diambil pengarang ini memang bagus. Cerpen ini mencampuradukkan antara
kepercayaan kuno atas alam dengan keyakinan pada modernisme. Pembawa perubahan bagi sebuah
desa dan yang menentangnya dipertemukan dalam cerita. Sosok yang pertama masih
percaya bahwa alam dengan sendirinya dapat membawa kesejahteraan sehingga ia mengolah
semuanya dengan alam. Sosok yang kedua tidak percaya pada kekuatan alam dan ia sepenuhnya
yakin atas alat-alat modern yang lebih canggih.
Bulu Baribayan
karya Zaidinoor
Baribayan adalah sesosok hantu di pedalaman
Kalimantan yang mana bulunya dipercaya bisa memberikan kekuatan penuh. Cerita ini
mengambil latar saat Indonesia masih dijajah Jepang. Demi menyelamatkan anaknya
agar tidak dibawa tentara Jepang, seorang ayah rela menembuh hutan dan
sekembalinya dari sana, ia sudah berubah menjadi kuat. Semua itu berkat bulu
Baribayan tersebut. Semua risiko atas bulu tersebut harus ia terima sampai
akhir hayatnya dan bulu tersebut diturunkan kepada cicitnya. Cerpen ini tentu
saja penuh dengan tema kepercayaan masyarakat desa akan kekuatan gaib dan mitos
yang menyertainya.
Travelogue karya
Seno Gumira Ajidarma
Menurutku, cerpen ini bisa kalian tafsirkan akan
seperti apa akhirnya. Karena, jujur saja, aku masih kurang paham inti cerita
yang berusaha pengarang sampaikan. Kalimat yang ditulisnya sangat puitis ada
beberapa yang abstrak. Dan, inilah karakter dari tulisan Seno. Banyak kalimat
tentang cinta yang membentuk menjadi satu kesatuan. Namun, setelah berjuang
keras untuk mengetahuinya, akhirnya aku bisa paham juga. Tentang hidup manusia
yang diibaratkan sebagai sebuah perjalanan yang kadang tersandung, jatuh, lancar,
atau bahkan bisa saja berhenti karena takdir. Semua itu mungkin terjadi dan karena
cintalah, hidup akan berwarna olehnya.
Protes karya
Putu Wijaya
Cerita yang ditulis oleh Putu ini tidak bisa
dilepaskan dari permainan politik. Bagi Pak Baron setiap pembangunan, pasti
bersifat positif. Namun, bila pembangunan tersebut mengharuskan rumah warga
sekitar digusur, apakah itu masih bisa dibilang positif? Padahal tentua saja
warga tidak mau hal itu terjadi. Pak Amat, yang dipercaya sebagai penyampai
protes tersebut, dibuat bimbang. Di satu sisi, ia mengiyakan untuk menyampaikan
amanah itu, di satu sisinya, Pak Baron meyakinkannya bahwa hal itu positif. Pengarang
mengambil tema politik yang sederhana, tetapi sarat makna. Aku juga sangat
menjagokan cerpen ini.
Tenggat Waktu
karya Djenar Maesa Ayu
Hidup dalam kebosanan, begitu-begitu saja, tanpa
gairah dan semangat harus dijalani oleh Nayla. Perempuan yang hidupnya dibatasi
oleh deadline alias tenggat waktu
baik itu hobinya maupun pekerjaannya. Dalam hidupnya, ia hanya menginginkan
kenangan ulang tahunnya ketika ayahnya menjelma Santa Claus yang bisa
mengabulkan apapun yang diminta olehnya. Tanpa batas. Tanpa tenggat waktu. Kesanku
untuk cerpen ini adalah bahwa hidup memang ada batasan waktunya, tetapi untuk
kenangan hidup tidak pernah berkutat pada batasan waktu.
Dari dua puluh empat cerpen yang sudah aku beberkan
sedikit beserta kesannya, aku sangat menyukai cerpen dari Gus TF Sakai yang
berjudul Beras Genggam yang membahas
tentang tradisi lokal. Aku pernah baca bahwa tradisi lokal masih menjadi daya
tarik tersendiri bagi pengarang-pengarang kita. Namun, tema yang lainnya
pastinya menarik juga. Dan, segeralah kalian membaca cerpen-cerpen dalam buku Cerpen
Pilihan Kompas 2014 ini!
Semoga tulisanku bisa menggugah kalian untuk lebih
menyukai buku dan sastra—tentunya.
Comments
Post a Comment