The Stars of Ours

Turn on the brightness to see the stars.

Frase itu terngiang-ngiang di ruang otakku. Entah mengapa, frase itu kerapkali menarikku kembali pada sebuah diaroma tentang eksistensialisme kita. Mengenai kamu bersama seangan mimpimu dan aku bersama seangin impianku.


Lucu memang ketika aku mengetahui bahwa unggahanmu kali ini begitu ringan. Padahal, bukankah kamu selalu menyebarkan kutipan pengingat semesta yang sibuk ini? Barangkali, kamu hanya lelah perihal sirkulasi takdir yang telah diguratkan Tuhan. Bisa saja, bukan?

Aku ikuti saja permainanmu kali ini. Aku mengerakkan jemariku untuk menyentuh gawai di bagian penyinaran—ke kanan sampai maksimal mencapai limit. Kemudian, kueja satu persatu fonem yang bermunculan seraya sinar menggilang-gemilangkan pupil mataku.

You, you’re the star.

Kamu mau tahu apa yang tiba-tiba menggertak masuk ke dalam senandung hampa yang mulai bergerumul? Iya, serangkaian lengkung tanda senyum. Terima kasih sekali akhirnya kudapati kembali senyum yang telah lama mengendap di relung gulana terdalam—terbayang ketika akulah si bintang.


Namun, aku kembali, aku merenung. bintang seperti apakah yang hinggap padamu? Apakah bintang dengan cahaya paling murni? Ataukah seabadi galaksi yang tiada akhir? Jangan-jangan, kamu sendirilah bayangan di balik bintang itu? Ah, pada akhirnya, aku hanya membiarkan bayang bintang-bintang itu gentayangan di pelupuk semestaku. Karena, yang terpenting adalah kamu berhasil menjadikanku debar yang tiada debur tanpa ampun.

Segemerlap Kamu dan Bintang

Telah berpuluh-puluh butir angin yang melewati relungku pun sudah berabad-abad detik rasanya namamu terkungkung di dalam anganku. Segala frase tentang bintang itu telah aku lupakan sekadarnya seraya aku kembali menapaki jejak Tuhan dalam dirimu. Namun, rupanya, bintang itu masih mau menjadi topikku yang tiada berkesudahan. Seperti kali ini—percaya atau tidak, frase you, you’re the star masih menjadi kecintaanku!

Senja kemarin, lepas aku menggugurkan berupa-rupa penat dan lelah, aku kembali merasakan kamu. Dengan pakaian lembayung teduh dan kantung mata yang semakin rindu, kamu telah membuatku jatuh, sejatuh-jatuhnya harap. Aku gagal untuk tidak menggengammu, juga gagal dalam hal merelakanmu.

By those tight eyesmiles, I have been throughly falling—again.

Sebentar lagi bunga pukul empat akan mekar, begitu pula kuncul-kuncup anganku yang menuai rekah. Kamu tampil lagi—di tengah luasnya sunyi—tidak bersama lembayung yang teduh, tetapi dengan laut yang gemas bernomor 26. Puas sekali kiranya kalau aku harus gambarkan bagaimana degupku ketika mendekapmu waktu itu. Aku tidak tahu, mungkin wajahku akan membuahkan kemerahan-merahan ketika aku memata-mataimu.

Kali ini kamu tidak bersama kotak berjaring, tetapi bersama benda bundar memantul—voli. Ah, maafkan aku ini yang baru menyadari kecintaanmu yang lain. Selama permainan, mengapa kamu selalu saja melewatkan poin kemenanganmu? Sesekali kamu juga terpeleset, terjerembab, dan ter-ter yang lainnya yang membuatmu harus menertawai dirimu sendiri yang mudah jatuh itu.

Namun, tak apa. Jika jatuh membuatmu bisa lebih bersinar, maka kembalilah jatuh. Andai saja kamu tahu, aku selalu mengagumi kelihaianmu kala itu. Iya, kelihaianmu dalam terjatuh yang berkali-kali sekaligus dalam menjelma tawa bagiku. Bahkan, keterpelesetan dan keterjatuhanmu itu saja mampu bersinar lebih gemilang daripada dirimu.

The slipped-one you got just made my day.

Ah, seketika aku jadi ingat perihal frase you, you’re the star. Sekarang, terkuaklah siapa bintang yang kamu maksudkan dahulu. Bintang yang kamu coba gapai itu adalah segala keabstrakan yang belum pernah aku ketahui. Dalam daripada itu, laut yang gemas, bola voli, keterpelesetan, dan keterjatuhan adalah contohnya. Mereka mampu membuatmu semakin gemilang selayak galaksi, gemerlap serupa bintang.

Bintang itu adalah dirimu sendiri. Dan, tetaplah menjadi galaksi bintangku yang paling teduh.


tertuju pada sekotak dimensi relung
dan sesosok jiwa teduh
sepulang bertanding

Comments

Popular Posts