Review Modern Life is Rubbish (2017)


Tentang Menikmati Kederhanaan Hidup tanpa Teknologi

Film Modern Life is Rubbish dibesut oleh Daniel Jerome Gill ini menjadi favoritku kali ini! Film ini diluncurkan pada tahun 2017 di bawah naungan Serotonin Films, Modern Life Pictures, and Piccadilly Pictures dengan menghadirkan Josh Whitehouse dan Freya Mavor sebagai pemeran utamanya.


Secara garis besar, film ini menceritakan tentang kisah dua sejoli bernama Liam Josh Whitehouse) dan Natalie (Freya Mavor). Liam adalah seorang musisi di band bernama Head Cleaner, sedangkan Natalie adalah seorang perancang album disket. Mereka dipertemukan di tempat penjualan kaset musik. Waktu pun berjalan, Nat mempertanyakan keberlangsungan hidup mereka—karena kebetulan Liam memang menganggur. Mereka tidak bisa seperti ini atau semuanya akan berakhir dengan tidak menyenangkan. Karena, selama ini mereka hanya menikmati keseharian dengan sederhana dan bahagia tanpa sadar bahwa hidup sebenarnya menuntut mereka agar “melek” teknologi.

Menikmati Kesederhanaan sekaligus Teknologi

Sebenarnya agak sulit untuk menakar kadar kenikmatan hidup yang diselimuti kegemilangan teknologi dan modernisasi. Di satu sisi, teknologi menghadirkan dunia virtual yang serbacepat sehingga kiranya bagi kita kewalahan dalam menyelaraskan ritmenya. Dan, di sisi yang lainnya hidup memang harus disederhanakan supaya mencapai taraf bahagia yang murni. Kiranya, begitulah yang ingin disampaikan di dalam film Modern Life is Rubbish tersebut.


Lewat film ini pula, ditampilkan gradasi karakter antara pemeran satu dengan pemeran yang lainnya, terutama Liam dan Nat. Liam, bagaimanapun dunia teknologi yang telah melesat mencoba menggapainya, ia akan tetap “kudet”. Ia lebih memilih untuk menikmati sesuatu secara langsung dan pasti. Misalnya, ketika Nat membeli IPod, ia malah menganggapnya sebagai suatu penghinaan terhadap musik—baginya, musik harus dinikmati secara langsung, bukan melalui digital player.

Bahkan, jika ditelusuri lebih dalam, Liam mendekralasikan bahwa teknologi semacam itu hanya mengukung jiwa manusia sehingga tidak bisa menikmati keindahan yang telah Tuhan berikan.


Namun, Nat, perlahan mulai membuka diri terhadap modernisasi. Baginya, teknologi justru merupakan cara yang segar dan baru dalam menikmati seni musik. Dan, pada akhirnya, bisa ditebak bahwa selepas Nat “pergi”, Liam mulai menyamankan diri terhadap dunia digital. Bukan hanya dengan digital itu, tetapi juga dengan hidup dan karir musiknya yang mulai ditata seapik mungkin.

Kemudian, pada akhir film, kita dipaparkan plot bahwa segala sesuatu harus satu jalur agar menjadi selaras. Liam bisa menyamakan ritme hidup sederhananya dibarengi dengan digital musik yang ada. Begitu pula dengan Nat. Ia telah mampu berdamai dengan gejolak perasaannya terhadap Liam—tentunya.

Selamat menonton, guys!

Bahwa apapun yang mengekang jiwa manusia dan seni pada khususnya, haruslah dihilangkan dari jejak pikiran kita sebagai manusia yang murni. Namun, jika itu berkaitan dengan semesta perasaan paling dalam, haruskah dihilangkan juga? Sungguh, adalah bernama cinta ketika ia mampu menyederhanakan segala rupa kerumitan menjadi kederhanaan.

Comments

Popular Posts