Senen—Lempuyangan
Dalam Gelapnya Kunang-kunang
Aku akan mulai menulis lagi tentangmu. Kamu yang
selalu menggemakan keikhlasan yang akan menuntun pada keberkahan hidup. Alasan sederhana
itu pula yang melabuhkan relung hatiku pada milikmu; sampai detik ini.
Mengingatmu pada waktu itu membuat aku percaya bahwa
sebenarnya tidaklah mudah untuk saling menemukan. Aku merasa kita semakin
dekat, tapi nyatanya kamu telah mengikat dirinya. Hal itu sempat merapuhkan
setiap benih harapan yang kurajut sendiri. Dan saat ini, biarlah kamu
mengetahui bahwa setiap detail yang kamu lakukan waktu itu masih ada di sini;
pada setiap senyum yang aku punya.
Kamu mengingatkanku pada kunang-kunang malam itu. Mereka
selalu tersenyum, bersinar. Tidak ada sama sekali rinai kesedihan yang
menggelayutinya. Mereka begitu dituggu kehadiran pada setiap pucuk rumput. Begitu
pula kamu waktu itu. Selama perjalanan membosankan ini, kamu begitu cerah dan
menyiratkan kebahagiaan. Tidak jemu-jemunya aku memandangimu dari tempat duduk
nomor 14B ini. Kamu ada di kursi di samping kananku, membagikan
lembaran-lembaran senyum pada setiap wajah yang menyalamimu.
Kamu menyadarkanku pada keajaiban akan adanya
malaikat. Kamu tahu ‘kan malaikat itu yang selalu bercahaya, bersinar dengan
lembutnya, dan menuntunmu pada kebaikan-kebaikan? Pada akhirnya aku sadar bahwa
konsep malaikat itu memilihmu untuk ditunjukkan kepadaku. Sewaktu kita sampai
di kota itu, aku tahu kamu ingin sekali beristirahat, tetapi kamu harus
melaksanakan tanggung jawabmu dahulu untuk membereskan barang bawaanmu, bukan? Malam
itu juga aku adalah orang terakhir yang tidur dan aku sesekali menengok ke arahmu.
Kamu tahu, wajahmu terlihat damai dan sejuk sekali. Ingin rasanya aku mengabadikan
potret itu. Sejak saat itu, kebiasaan memperhatikanmu selalu aku jadikan
rutinitas tiap malam.
Kamu juga menuntunku pada arti sebuah pengorbanan. Susu
bantal rasa stroberi yang kamu berikan, contohnya. Bersama dengan kedua teman
akrabmu, kamu kembali lagi ke sebuah toko kecil itu. Menghampiriku kemudian
memberiku sekotak susu bantal adalah hal bahagia bagiku sebelum malam itu
berakhir. Hanya dengan sekadar barang kecil tersebut, aku bisa mengenalmu lebih
jauh lagi. Bisa ‘kan suatu hari nanti kita berdua minum susu bantal beku? Kamu
yang rasa coklat dan aku yang stroberi.
Pun, kamu membawakanku sebuah makna akan kebahagiaan.
Setiap saat kamu tertawa atau tersenyum itu artinya malaikat sedang bersinar
dengan lembut. Permainan sederhana dengan kamu sebagai salah satu pemainnya
menjadi saksinya. Kamu seringkali tertawa terbahak-bahak selama permainan itu
berlangsung. Ingin rasanya aku melihat kamu tertawa seperti itu kembali. Sayangnya,
sampai saat ini hanya kecanggungan dan kebosanan yang bisa kamu berikan setiap
aku menjumpaimu.
Kamu pula yang mengenalkanku pada sebuah penantian
dan kesabaran. Ketika tiba saatnya kamu harus kembali pada rumah terlebih
dahulu, ketika kamu bersama salah satu teman akrabmu bersiap, aku hanya
menatapmu dari kejauhan. Ingin sekali rasanya aku mengucapkan sepatah kata
kemudian menerima untaian senyummu. Karena, aku tahu selepas ini aku tidak bisa
menyentuh bayangmu. Namun, dari kejauhan melihat kamu tertawa saja sudah
menentramkanku. Selamat jalan dan semoga kamu bahagia, ucapku dari kejauhan, pada
waktu itu.
Akhirnya, perjalanan Senen-Lempuyangan menjadi
berharga saat aku melihat sesuatu dari sisi yang berbeda. Dari kamu jugalah aku
bisa belajar dari kehidupan ini. Perihal kebahagiaan, penantian, kebersyukuran,
keikhlasan, dan pengorbanan. Semua ini, katamu, akan menuntunku pada sebuah
akhir yang baik pula. Sama seperti bulir-bulir dandelion yang pernah aku tiupkan
yang pada akhirnya menumbuhkan benih dandelion yang lain. Itu adalah salah satu
akhir yang baik, bukan?
Comments
Post a Comment