Arab-Melayu sebagai Jati Diri Indonesia: Sebuah Esai

Esai Pertamaku, Esai Keberuntunganku

Yeay alhamdulillah kali ini esai yang pertama kalinya aku kirim buat lomba menang di Riung Sastra 2017 yang diadakan oleh Prodi Sastra Indonesia UNJ. Esai yang aku kirim temanya adalah “Pelestarian Bahasa sebagai Jati Diri Bangsa”, sebagaimana yang sudah ditentukan dari panitia Riung Sastranya. Awalnya sih gak percaya ya karena ini baru pertama kalinya hehe, tapi ya intinya harus bersyukur.
Ini adalah esaiku yang sedikit aku sunting.


Membangun Jati Diri Indonesia melalui Pengenalan dan Pelestarian Aksara Arab-Melayu

Jika kita berbicara tentang jati diri, hal itu sama dengan berbicara tentang identitas. Jati diri atau identitas adalah suatu kualitas yang mencerminkan dirinya, bersifat khas, dan juga unik. Dikaitkan dengan konsep keindonesiaan, jati diri merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya yang berkembang dan berasal dari himpunan beberapa suku yang ada di Indonesia. Salah satu perwujudan nilai budaya tersebut adalah aksara Arab Melayu.

Aksara Arab Melayu—atau dikenal juga Pegon dalam istilah Jawa—adalah perwujudan aksara Arab yang dimodifikasi sedemikian rupa pada zaman dahulu sehingga tidak lagi dibaca dalam bahasa Arab, tetapi dalam bahasa Melayu. Meskipun dibaca dalam bahasa Melayu yang identik dengan bahasa di daerah Sumatera, penggunaan dan penyebaran aksara ini mencapai jangkauan seluruh Indonesia. Penyebaran aksara ini tidak bisa dilepaskan dari peran agama Islam yang telah masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13.

Pada zaman dahulu, bahasa Melayu yang ditulis dalam aksara Arab ini digunakan dalam banyak keperluan kerajaan. Untuk berkomunikasi dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia, melakukan perjanjian perdagangan, membuat peraturan dan perundang-undangan, dan juga menciptakan kesusastraan sebagai media dakwah. Selain itu, karena letak Indonesia yang berada di jalur strategis pelayaran, maka bahasa Arab-Melayu ini juga digunakan sebagai bahasa perantara atau lingua franca.

Bahasa Melayu aksara Arab, bahasa nasional milik Indonesia
Aksara Arab-Melayu mengalami masa keemasan pada saat Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Pada abad ke-17 banyak sekali ulama yang menyebarkan ajaran Islam ke Indonesia melalui tulisan yang beraksarakan Arab-Melayu. Kemudian, tulisan ini pun menjadi bukti bahwa aksara Arab-Melayu memang telah menyebar ke seluruh Indonesia.

Hal lain yang membuktikan bahwa aksara Arab-Melayu sudah meluas di Indonesia adalah ditemukannya aksara atau bahasa daerah di Indonesia yang mirip dengan Arab-Melayu. Misalnya di Jawa ada aksara Pegon yang mirip dengan aksara Arab-Melayu; bahasa di Minangkabau yang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu di Riau; serta Kerajaan Buton di Sulawesi yang menggunakan aksara Arab-Melayu dalam bidang politiknya.

Dalam bidang kesusastraan Indonesia klasik, kebanyakan karya sastra ditulis dalam aksara Arab-Melayu. Salah satu dari karya itu tidaklah asing bagi kita yaitu Hikayat Hang Tuah yang sampai saat ini masih kita ketahui. Selain itu, penyebaran aksara Arab-Melayu di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari peran pihak tertentu. Nama Raja Ali Haji tidak asing bagi kita, bukan? Beliau adalah pengarang zaman dahulu yang menciptakan karya dengan menggunakan aksara Arab-Melayu.

Semua itu membuktikan bahwa sejak zaman dahulu bahasa Melayu dalam aksara Arab memang sudah mendarah daging dan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi kita, bangsa Indonesia. Karena rasa bangga ini, bahasa Melayu dalam aksara Arab dijadikan sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia pada saat itu.

Bukan main kehebatan bahasa Melayu pada waktu itu sampai bisa menjadi bahasa resmi bangsa Indonesia. Aksara Arab-Melayu identik sekali dengan agama Islam karena bahasa Arab—yang tentunya ditulis pula dalam aksara Arab—menjadi bahasa pengantar bagi para penyebar ajaran Islam di seluruh dunia untuk menyebarluaskan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam. Padahal, jika telaah lebih lanjut masyarakat di Indonesia pada saat itu sudah mengenal ajaran-ajaran Hindu dan Buddha.

Agama Hindu dan Buddha membawa aksaranya sendiri ketika datang ke Indonesia, yaitu Sanskerta. Di sisi lain, ajaran Islam datang dengan aksara Arab yang disesuaikan dengan budaya Indonesia menjadi aksara Arab-Melayu yang pertama kali tumbuh di daerah Sumatera, tepatnya Riau. Perlahan-lahan, bahasa Melayu ini mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia dengan aksara Arab-Melayunya sampai ke wilayah timur Indonesia. Meskipun bentuk aksaranya tidak sama persis, tetap saja akar dari aksara mereka adalah aksara Arab-Melayu.

Sekarang, ke mana perginya Arab-Melayu itu?
Semenjak kolonial Belanda masuk ke Indonesia, kejayaan aksara Arab-Melayu mulai melemah. Artinya, tidak ada lagi tulisan-tulisan dalam aksara Arab-Melayu. Pemerintah Belanda mulai mengenalkan aksara Latin kepada masyarakat Indonesia dan memaksa mereka untuk menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Aksara Latin dalam bahasa Belanda yang menjadi kewajiban mereka akhirnya menggantikan posisi bahasa Melayu sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia.

Sejak saat aksara Latin mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia, banyak hal tentang keberaksaraan dan kebahasaan yang berubah. Buku-buku pelajaran, nama jalan, karya sastra, perjanjian dagang, ataupun peraturan politik harus ditulis dalam aksara Latin. Ditambah pula, masyakarat Indonesia yang sebelumnya sudah fasih tulis menulis dalam aksara Arab-Melayu akan dianggap tidak cerdas dan tidak bernilai jika mereka tidak bisa menggunakan aksara Latin. Perlahan-lahan, mereka pun meninggalkan aksara Arab-Melayu.

Sampai sekarang, keadaan semacam ini masih berlangsung. Aksara Arab-Melayu ini seperti hilang ditelan bumi. Hanya segelintir orang yang memahami betul tentangnya. Terlebih lagi, banyak anak muda seperti kita sebagai generasi penerus bangsa yang tidak tahu menahu tentang seluk-beluk mengenai aksara Arab-Melayu.

Aksara Arab-Melayu hanya dipelajari oleh pihak-pihak tertentu saja. Misalnya, seperti pelajar di pondok pesantren, mahasiswa jurusan sastra, bahasa, atau budaya, dan juga pengajar dan pembelajar Alquran. Dengan sedikitnya pihak yang bergelut dengan aksara Arab-Melayu, seharusnya menambah keprihatian kita terhadap keberlangsungan aksara ini. Padahal, seperti yang kita ketahui bahwa aksara ini adalah kejayaan bagi bangsa Indonesia.
           
Mengenal kembali dan melestarikan aksara Arab-Melayu
Aksara Arab-Melayu, seperti yang telah kita ketahui, tidak lagi digunakan oleh masyarakat Indonesia baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini wajar saja karena memang bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia dengan aksara Latin. Jadi, mungkin saja kebanyakan mereka tidak menganggap penting penggunaan aksara Arab-Melayu tersebut dalam konteks masa kini.

Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa aksara Arab-Melayu juga hanya dipelajari oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini sangat disayangkan jika kita mengingat bahwa aksara ini memiliki kehebatan dan kejayaan dalam menyatukan masyarakat Indonesia dari ujung barat sampai ujung timur. Ditambah lagi

Kejayaan dan kehebatan aksara Arab-Melayu ini tidak boleh dilupakan begitu saja oleh masyarakat Indonesia zaman sekarang. Sama halnya dengan sejarah kehebatan para pahlawan Indonesia semasa penjajahan yang harus diingat-ingat, aksara Arab-Melayu ini juga perlu mendapatkan perhatian dari kita. Bukan dengan diingat-ingat, tetapi dengan cara pengenalan dan pelestarian aksara.

Pengenalan aksara Arab-Melayu dilakukan dengan cara mencoba memperkenalkan aksara Arab yang dilafalkan dalam bahasa Melayu kepada masyakarat Indonesia. Aksara Arab selama ini identik dengan orang Islam, tetapi di sini, kita berbicara dalam konteks bangsa Indonesia dengan agama yang beragam. Oleh karena itu, pengenalan ini dimaksudkan agar masyarakat Indonesia—terlepas dari jenis agama apapun yang dianutnya—bisa mengenali aksara Arab-Melayu.

Kemudian, pelestarian aksara Arab-Melayu dilakukan dengan cara melafalkan aksara tersebut atau membaca aksara dengan benar dan sesuai kaidahnya. Pelestarian ini bisa diterapkan melalui pembacaan karya-karya klasik Indonesia. Meskipun kaidahnya memanglah tidak selalu sesuai karena terkadang ada kaidah yang menyimpang.

Pengenalan dan pelestarian aksara Arab-Melayu yang ditujukan bagi masyarakat Indonesia ini bertujuan agar kita tidak kehilangan kejayaan Indonesia, khususnya dalam hal keberaksaraan dan kebahasaan. Agar tidak hilang, kedua usaha tersebut dilakukan dengan sepenuh hati dan secara bersama-sama baik dari pihak pemerintah maupun masyarakatnya sendiri.

Dari pemerintah misalnya dengan mewajibkan pelajar sekolah dasar untuk belajar tentang aksara Arab-Melayu dan menyediakan buku pegangannya dengan terbitan terbaru. Bahkan pemerintah di Kesultanan Banjar mulai mengenalkan kembali aksara Arab-Melayu khas Banjar. Hal ini dilakukan berkaitan dengan seni dan budaya dalam bentuk naskah kuno di Banjar.

Sementara itu, dari masyarakatnya sendiri adalah berkemauan besar untuk belajar aksara Arab-Melayu dan berbangga hati untuk mempelajari karya sastra klasik Indonesia. Apalagi, karya sastra klasik di Indonesia sangatlah banyak sehingga bisa dijadikan sarana belajar. Jika kita bangga karena bisa menulis dan membaca aksara Arab-Melayu, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah akan lebih fokus dalam masalah aksara ini.

Dengan adanya kesungguhan dan keteguhan hati kita dalam pengenalan dan pelestarian aksara Arab-Melayu, maka kejayaan dan kehebatan Indonesia bisa kembali dikemukakan kepada dunia. Selain kejayaan dan kehebatan, identitas Indonesia dapat pula ditumbuhkan melalui aksara Arab-Melayu yang sudah mendarah daging ini. Oleh karena itu, dalam membangun jati diri bangsa Indonesia bisa dilakukan dengan kedua cara ini. Semoga kelak aksara Arab-Melayu kembali menjadi jati diri bangsa Indonesia yang dibanggakan oleh masyakaratnya sendiri.

Terima kasih sudah membaca esaiku. Dan, jangan lupakan Arab-Melayu kita, ya!

Comments

Popular Posts