Tentang Maryam dan Perbedaannya: Novel Maryam karya Okky Madasari (2012)

-Aku Berbeda dan Inginkan Ruang-



Kali ini saya akan menceritakan tentang novel yang saya tuntaskan selama 4 hari. Lebih tepatnya, saya baca selama berada di Transjakarta setiap berangkat dan pulang kampus.
Sabtu itu, saya mengunjungi Perpustakaan Umum dan Daerah di bilangan Kuningan. Pada awalnya saya ingin mencari novel karya N.H. Dini, yaitu Pada Sebuah Kapal, tetapi sayangnya tidak ada. Lalu, saya menyusuri rak-rak dan menemukan novel Maryam. Sebelumnya, novel Maryam ini belum pernah saya baca. Hanya pernah beberapa kali mendengar judulnya disebut-sebut sebagai novel yang masuk daftar Khatulistiwa Literary Award 2011.

Pada awalnya, saya ragu untuk membaca novel ini karena satu hal : novel ini masuk Khatulistiwa Literary Award yang merupakan award bergengsi bagi dunia sastra Indonesia. Aneh, bukan? Saya berpikir bahwa setiap karya yang masuk award ini pasti ditulis dengan kata-kata yang lumayan sulit dipahami dan membutuhkan ketajaman rasa si pembaca. Namun, praduga itu salah besar. Saya membuka sekilas pada bagian tengah novel dan mendapati bahwa bahasanya sangat mudah dipahami, tetapi tetap mempertahankan kekhasannya sebagai novel yang layak masuk award.

Novel Maryam menceritakan tentang Maryam, seorang penganut Ahmadiyah (Ahmadi), yang tinggal di daerah Gerupuk (Lombok) bersama orangtua (Bapak dan Ibu Khairuddin) dan penganut Ahmadi lainnya. Lika-liku kehidupannya sangat ditentukan oleh “status”nya yang menjadi minoritas itu. Mulai dari kelangsungan hidupnya, pekerjaannya, hingga pernikahannya.

Cerita diawali dari kehidupannya setelah menjadi janda yang akhirnya membawanya dari Jakarta kembali pulang ke Gerupuk. Namun, Gerupuk yang sekarang tidaklah sama. Dahulu tentram sekarang terancam. Maryam pun harus mencari keberadaan keluarganya. Hingga akhirnya ia menemukan mereka di sebuah tempat baru bernama Gegerung. Barulah ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu selepas ia meninggalkan Gerupuk.

Sebelumnya, Maryam adalah seorang Ahmadi yang taat agama. Menjalankan semua yang diperintahkan orangtuanya atas nama keimanan. Mengikuti pengajian rutin salah satunya. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan kuliah di Surabaya. Maryam tinggal bersama kerabat orangtuanya di Surabaya. Selama berkuliah, Maryam merasa telah mendapatkan tambatan hari yang juga seorang Ahmadi, Gamal. Gamal dirasa sangat cocok dengan Maryam karena ia sama-sama berkuliah dan taat agama. Orangtua Maryam juga akan menikahkan Gamal dan Maryam setelah mereka lulus. Sayangnya, menjelang kelulusannya, Gamal kehilangan keimanan. Ia terpengaruh oleh hasutan orang-orang yang mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Harapan semua orang pupus, terlebih lagi Maryam.

Bapak dan Ibu Khairuddin tidak menyerah dalam mencarikan jodoh untuk Maryam. Umar adalah sasaran selanjutnya. Ia anak dari Bapak dan Ibu Ali yang juga seumuran dengan Maryam. Ia berkuliah di Bali dan tanpa sepengetahuan mereka, ia berpacaran dengan seorang Hindu, Komang. Ibu Ali meminta Umar untuk meninggalkannya dan segera pulang untuk dinikahkan dengan Maryam. Permintaannya itu hanya diiya-iyakan saja hingga Bapak Ali meninggal dan Umar pun meninggalkan Bali dan Komang. Umar melanjutkan usaha susu dan madu milik bapaknya.

Saat itu, Maryam bekerja sebagai pegawai bank di Jakarta. Saat mencoba melupakan Gamal, ia bertemu Alam. Alam adalah muslim taat yang tebilang sangat menuruti keinginan ibunya. Mereka pun saling jatuh cinta dan mengutarakan keinginan untuk menikah. Ibu Alam akhirnya merestui dengan syarat Maryam harus bisa melepaskan “embel-embel” masa lalunya, termasuk keluarga. Orangtua Maryam juga merestui asalkan Alam menjadi Ahmadi. Namun, Maryam tidak memedulikannya dan nekat menikah dengannya. Alhasil, semuanya hancur. Maryam dan Alam bercerai. Hal ini juga dilatarbelakangi dengan status lama Maryam.

Setelah akhirnya kembali ke Lombok, Maryam tahu bahwa orangtua dan penganut Ahmadi lainnya telah diusir dari Gerupuk, padahal itu adalah rumah mereka. Demi kedamaian, mereka mengalah dan akhirnya menetap di Gegerung dengan memulai semuanya dari nol. Banyak bantuan yang mereka dapatkan salah satunya dari usaha Umar tersebut. Mendengar kedatangan Maryam, orangtua Maryam dan Umar kembali menyusun rencana pernikahan mereka. Singkatnya, Umar dan Maryam resmi menikah.

Beberapa bulan setelahnya, mereka kembali terusir dari Gegerung dan harus mengungsi di Gedung Transito. Pengusiran itu diawali dari pengungsian yang menghidupkan kembali kenangan pahit saat mereka juga pindah ke Gegerung. Pengusiran yang diwarnai kekerasan fisik dan batin. Kehidupan mulai dirintis dari bawah lagi. Para Ahmadi telah berjuang untuk kembali mendapatkan hak rumahnya, tetapi sia-sia saja.

Cerita ini diakhiri dengan kelahiran Mandalika (anak Maryam dan Umar) di tengah kondisi yang memprihatinkan itu, pernikahan Fatimah (adik Maryam) dengan orang yang bukan Ahmadi, dan kematian Pak Khairuddin. Kematian beliau ini justru memunculkan kembali ketidakberhakan atas apapun di Gerupuk, termasuk rumah mereka. Beliau tidak diperkenankan dikebumikan di Gerupuk, berdampingan dengan orangtuanya. Sekali lagi, mereka mengalah. Akhirnya, beliau dikebumikan di Mataram.

***
Menurut saya, tidaklah salah bahwa novel Maryam karya Okky Madasari ini masuk Khatulistiwa Literary Award 2011. Okky sampai-sampai melalukan riset di Lombok demi melahirkan novel ini. Sungguh sebuah pengorbanan besar untuk menguatkan cerita ini. Ada juga banyak istilah dalam bahasa Sasak serta tradisi-tradisi turun menurun di Lombok yang menambah rasa dalam cerita sehingga selain membuat saya sangat terhanyut juga menambah pengetahuan.

Okky Madasari juga menggunakan kalimat yang estetis untuk mengungkapkan sesuatu secara tersirat. Dan, memang begitulah bahasa sastra. Seperti :
 “Berdua mereka hanyut oleh ombak. Terbawa ke tengah, terisap ke dasar, lalu diempas jauh ke pinggiran, untuk kembali ditarik ke laut lepas” (Madasari, 2012: 182).
“Menenggelamkan diri dalam lebur. Bersama-sama melebur” (Madasari, 2012: 183).
Ada beberapa kalimat yang sangat dalam dan bagi saya adalah inti dari novel ini :
“Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram?” (Madasari, 2012: 274).

Maryam dan kaummnya, sama seperti kaum minoritas lainnya di Indonesia, hanya menginginkan sebuah kedamaian dan kebebasan. Mereka tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak, meskipun banyak orang menganggap kaum minoritas ini salah. Mereka selalu mengalah padahal mereka yang teraniaya oleh kaum mayoritas. Dari novel ini, Okky Madasari merasa peka atas yang terjadi di lingkungan sekitarnya saat ini.

Kaum minor ini hanya ingin diperlakukan sama dengan kaum yang mayor. Mereka ingin ruang-ruang agar mereka bersuara tanpa ditatap penuh kebencian dan ketidaksukaan, mereka butuh pelindung yang dapat mereka gantungkan hidup agar bisa lebih baik dalam semua aspek kehidupan, serta mereka rindu senyuman yang dahulu mereka dapatkan.

Saya juga melihat hal yang sama seperti yang Okky lihat. Banyak orang yang menganggap dirinya benar dan orang lain salah. Meskipun mereka diam dan tidak mengganggu tetap saja yang disalahkan adalah mereka. Tanpa pikir panjang, kaum mayoritas ini main hakim sendiri tanpa tahu duduk permasalahannya. Hanya karena mereka berbeda darinya, mereka tidak mau bertoleransi akan hal itu. Inilah yang terjadi dalam masyarakat saat ini.

Sekian saja yang bisa saya paparkan. Semoga dengan tulisan ini, kalian berminat besar untuk membaca novel Maryam yang sangat bagus. Kalian akan benar-benar merasakan sensasi berbeda saaat membaca novel ini! Jangan lupa saat membacanya manusiakanlah kertas (jangan melipat kertas) dan usahakan gunakan bookmark!


Notes: Pada awalnya saya ingin menggunakan novel Maryam ini sebagai objek penelitian sastra saya dengan teori strukturalisme genetik, namun ternyata sudah dipakai orang lain L

Comments

Popular Posts