Aku dan Titik Balik

Mulai dari Angka sampai Kata
Sebuah Perjalanan Roman Picisan ke Karya Klasik tak Lekang Waktu


Kali ini aku bakal nge-share pengalamanku tentang bagaimana awalnya aku bisa sangat amat mencintai buku dan membaca. Kebiasaan membaca tidak pernah dibudayakan oleh kedua orangtuaku. Mereka tergolong orang yang tidak menyukai buku. Satu-satunya bacaan yang aku dapatkan sewaktu kecil adalah buku dongeng kecil. Buku itu aku dapatkan dari salah satu merek susu yang selalu aku minum.

Sewaktu masuk sekolah dasar pun aku tidak menyukai membaca. Kata ibuku, aku menyukai pelajaran menghitung terutama Matematika dan IPA. Jadi, secara otomatis aku tidak diajak lebih dalam untuk mulai menyukai membaca. Maka, tidak mengherankanlah ketika aku sama sekali tidak pernah mempunyai ataupun membaca buku cerita anak-anak. Yang aku miliki hanyalah lembaran soal olimpiade IPA yang pernah aku ikuti.

Masa-masa sekolah menengah pertama pun menjadi masa keemasanku untuk melangkah lebih jauh dalam hal hitung-hitungan. Terlebih lagi, saat SMP sudah ada spesifikasi mata pelajaran IPA yaitu Fisika. Aku dijadikan kandidat untuk mengikuti segala macam perlombaan fisika yang baru diberitahu oleh guruku dua hari sebelum hari perlombaan. Sebenarnya hal ini agak memberatkan tetapi sekaligus menyenangkan. Memberatkan karena aku tidak punya buku banyak referensi fisika dan menyenangkan karena ini adalah langkah awalku untuk ke depannya. Jadilah aku yang terbang jauh dalam sayap-sayap angka.

Namun, yang aku ingat adalah semasa SMP ini, aku sudah diperkenalkan lebih dalam lagi mengenai hal yang berkaitan dengan buku yaitu membaca sastra khususnya puisi. Sayangnya, perihal membaca puisi itu tetap tidak menggugah hatiku untuk menyukai kegiatan membaca. Bagiku, membaca puisi hanyalah sebuah tugas yang harus segera aku selesaikan. Sementara, rumus fisika adalah sesuatu yang wajib aku hapal benar beserta pengaplikasiannya.

Namun, sayangnya keahlianku dalam matematika dan fisika itu tidak tersalurkan dengan baik saat kelulusan SMP karena kedua orangtuaku. Mereka menuntunku ke jalan yang menurut mereka baik—dan sangat baik bagiku pada akhirnya—untuk menghabiskan masa remajaku di sebuah sekolah menengah kejuruan. Pada awalnya aku tidak menyetujui keputusan mereka yang seperti itu karena aku tahu bahwa SMK tidak ada jurusan IPA (yang dahulunya sangat ingin aku masuki). Namun, apa boleh buat mereka menjelaskan dengan sepenuh hati bahwa kelak aku bisa langsung kerja dengan berbekal pengalaman tiga tahun di SMK.

Tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali mengiyakan permintaan mereka. Hingga akhirnya aku memilih jurusan akuntansi. Sejujurnya aku tidak tahu apa itu akuntansi sampai aku tahu bahwa akuntansi berhubungan dengan hitung-hitungan dan langsung memilih jurusan itu. Waktu itu aku masih berpikir bahwa akuntansi masih ada hubungannya dengan fisika.

Tiga tahun aku habiskan untuk berkutat dengan hitung-hitungan dan angka. Memang benar, tetapi bukan ini yang aku maksud. Akuntansi mempelajari hitung-hitungan keuangan, sedangkan fisika mempelajari rumus-rumus ilmiah. Menjalani semua hitungan-hitungan tersebut membuatku menjalaninya dengan setengah hati. Aku merasa telah salah jalan dan ingin rasanya pindah sekolah saja. Namun, semua pikiran itu hanya aku simpan dalam hati dan tidak pernah aku sampaikan kepada kedua orangtuaku.

Aku sempat merasa bingung dan bimbang hingga akhirnya aku mendapatkan tempat pelarianku di SMK ini. Tempat pelarianku itu adalah tempat yang jarang dikunjungi oleh orang dan aku menyukai fakta tersebut. Tempat yang kumaksud adalah perpustakaan sekolah. Perpustakaanku yang satu ini berbeda dari perpustakaan SMP. Perpustakaan SMK tempatnya lebih nyaman untuk bersantai, mengobrol, dan membaca. Mirisnya, perpustakaan SMP pun aku tidak pernah tahu bentuknya karena tidak pernah mengunjunginya.

Di perpustakaan SMK, aku bisa memilih bacaan yang aku sukai. Dan, semuanya bermula dari sini. Mungkin aku yang tidak tahu atau aku yang tidak pernah mencari tahu, aku tidak pernah menemukan buku fisika di sini. Mulailah aku mencari bacaan yang bisa menjadi healing-ku. Buku bacaan pertama yang aku temukan adalah buku Lupus karya Hilman. Aku memutuskan untuk meminjamnya karena pernah mendengar bahwa Lupus adalah bacaan yang seru. Sehabis seri Lupus habis, aku berlanjut mencari buku bacaan yang ringan lagi dan jadilah buku karya Raditya Dika di tanganku.

Pada awalnya aku merasa belum bisa menyeimbangkan kegiatan baruku ini dengan kegiatan sekolah. Namun, seiring waktu, ternyata aku bisa menemukan keselarasan antarkeduanya. Aku menemukan sesuatu yang baru. Kebiasaan meminjam buku itu meningkatkan pula kebiasaan membacaku yang masih rendah waktu itu. Aku menemukan sebuah jalan tanpa ujung yang di setiap tikungannya terpampang jelas rambu kebahagian batin bagiku. Aku terus menerus meminjam novel apa saja yang ada di perpustakaan itu.

Ada beberapa hal unik yang belum aku bisa lupakan berkaitan dengan kegiatan baruku ini hahahaha. Ketika aku membaca buku Di Kaki Bukit Cibalak yang aku tidak paham benar isinya, ternyata itu adalah salah satu karya dari sastrawan Ahmad Tohari.  Lalu, aku ingat juga ternyata pernah membaca novel terjemahan dengan judul Midnight Children yang isinya tentang kehidupan anak-anak India (kalau aku tidak salah). Aku baru tahu juga setelah di kuliah, novel itu masuk ke dalam Goodreads Top 100 Literary Novels Of All Time menurut situs Goodreads.

Selain dari perpustakaan di sekolah, aku juga memasok buku bacaan dari perpustakaan daerah di Jakarta. Kebanyakan buku yang aku pinjam adalah novel cinta-cintaan remaja Dari sini pulalah aku mulai menyukai novel-novel klasik terutama novel klasik karya Jane Austen. Austen-lah yang menjadi pembuka jalanku untuk membaca lebih banyak novel klasik Inggris.

Selepas aku lulus SMK, aku memutuskan hal yang benar-benar di luar dugaanku sendiri. Aku memilih jurusan Sastra Indonesia. Aku sudah merasa ini adalah jalan, passion, dan takdirku. Dengan sepenuh hati aku mengutarakan maksudku agar aku berkuliah dahulu dan belum berkeinginan untuk bekerja. Akhirnya, jadilah aku seperti sekarang yang berstatus sebagai mahasiswa jurusan sastra di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.

Sebuah Pembelokan Jalan yang Menjadi Takdir
Aku yakin bahwa apa yang sudah dipilih orangtuaku adalah sebuah kebenaran. Aku dimasukkan ke SMK dengan jurusan akuntansi. Padahal, mereka tahu bahwa aku menyukai fisika dan berkemauan keras untuk masuk SMA jurusan IPA. Setelah aku masuk SMK, aku mencari pelarian untuk atas semuanya. Atas kemauan kedua orangtuaku atau atas fakta bahwa jurusan akuntansi yang berbeda dari hitung-hitungan fisika. Pelarian itu menjelma dalam bentuk perpustakaan SMK yang dilengkapi bacaan yang belum pernah aku temui sebelumnya. Novel-novel yang menjadi teman saat aku merasa down. Merekalah yang menuntunku ke sebuah dunia imajinasi yang belum pernah aku sentuh. Imanjinasi yang bisa aku dekap sebagai penghiburku. Kebiasaan membaca yang lahir dari novel roman picisan sampai novel karya klasik tidak habis dimakan waktu. Hingga sampailah aku pada keseharian untuk membaca bacaan berat selama kuliah yang tidak bisa lepas dari novel-novel karya pengarang terkenal. Dan, inilah jalanku.

Jadi, aku percaya bahwa setiap orang memiliki kejadian yang tak terduga yang bisa membawanya pada takdir dan jalan terbaiknya.

Comments

Popular Posts